assalamualaikum,wr.wb

Keluarlah darimenara gading. Rasakan penderitaan para pesakitan yang terdzalimi
hingga menghabiskan umur, uang dan kebahagiaannya. Antasari, salah
satunya ). Keburu bangkrut negeri ini kalau orang2 terbaik malah
dipenjarakan orang2 jahat.

Laman

Selasa, 20 Maret 2012

Taujih Anis Matta (Rakornas Wilda Sumatera di Jakarta, 6 Maret 2012)

Ikhwah sekalian. Saya kira sepanjang hari ini antum semuanya pasti sudah mendapatkan hal-hal yang kita perlukan untuk menang tahun 2014. Targetnya sudah jelas, masuk 3 besar. Goal map kesana juga sudah jelas. Dimulai dari program tahun ini. Dan tahun ini seluruhnya kita sebut sebagai Tahun Mobilisasi, Tahun Ekspansi. Dari seluruh nama itu saja, semua yang ingin kita ketahui, di atas kertas semuanya sudah jelas. Dan kalau itu semuanya sudah jelas, sebenarnya yang kita perlukan tinggal melangkah saja. Cuma jarak antara melangkah, setelah kita mengambil keputusan, itu kadang-kadang masih terbentang jarak yang jauh di antaranya. Jarak antara sebuah keputusan dengan implementasi seringkali agak panjang disebabkan oleh jembatan yang ada di dekatnya seringkali tidak ada.

Dan jembatan itu namanya ‘azam atau tekad. Makanya Allah SWT mengatakan,


Para ulama kita mengatakan bahwa yang dimaksud faidzaa ‘azamta: faidzaa tasyaawarta. Kalau kalian sudah bersyuro, fatawakkal ‘alallah. Jadi ‘azam disini maksudnya adalah syuro. Kenapa ‘azam itu disebut syuro? Karena syuro itu melahirkan qana’ah fikriyah dan qana’ah qalbiyah. Dan itu semuanya adalah syarat-syarat yang kita perlukan untuk menemukan tekad. Tekad itu sendiri bagi para ahli psikologi disebut sebagai energi. Jadi yang punya tekad, itu ya punya energi. Karena itu sumber energi kita adalah syuro yang baru saja kita lakukan ini.

Lalu Allah mengatakan fatawakkal ‘alallah, bertawakkallah kepada Allah. Para ulama kita mengatakan, yang dimaksud dengan tawakkal disini adalah ‘azam. Jadi kalau yang dimaksud faidzaa ‘azamta itu adalah syuro, maka yang dimaksud dengan tawakkal disini itu adalah ‘azam. Kenapa dia disebut ‘azam, Ikhwah sekalian? Karena yang dimaksud tawakkal itu adalah imtilaa-ul qaolbi bil iimaan biqudrotillaahi ‘alaa tashriifil umuur (penuhnya hati dengan kepercayaan bahwa atas kehendak dan kemampuan Allah SWT untuk menjalankan segala urusan itu sesuai dengan kehendak-Nya). Dan itu berarti bahwa kita sepenuhnya bergantung kepada Allah SWT dan tidak takut kepada seluruh makhluk Allah SWT yang lain. Itu yang memberikan kita keberanian. Dan keberanian itulah yang menjadi trigger bagi energi hati yang sudah terbentuk melalui syuro.

Dengan syuro ini kita meyakinkan diri kita sendiri maa dholla shoohibukum wamaa ghowaa, sahabatmu ini tidak tersesat. Sudah benar jalan yang ingin kita tempuh ini. Sudah benar tujuan yang kita tetapkan ini. Sudah benar jalan yang kita tetapkan ini semuanya. Tetapi dengan tawakkal itu kita menghilangkan keragu-raguan. Kita menghilangkan perasaan lemah di dalam diri kita. Kita juga menghilangkan ketakutan. Keragu-raguan, kelemahan dan ketakutan, ini adalah penyakit yang mendera siapapun yang tidak mendapatkan energi dari syuro dan energi dari tawakkal itu.

Dan karena itu, Ikhwah sekalian, buah dari syuro, dari ‘azzam dan tawakkal ini atau buah dari syuro dan ‘azam ini, selanjutnya itu adalah turun ke dalam diri kita dalam bentuk sakinah qolbiyah. Jadi kita bisa meraba kemenangan itu dari dalam diri kita sendiri. Tidak perlu tunggu tahun 2014 untuk mengetahui apakah kita akan menang atau tidak. Antum kembali ke dalam diri antum semua sekarang ini, dan coba raba-raba hati kita semuanya. Apakah ada sakinah qolbiyah di dalam diri kita itu? Semacam kemantapan hati, sakinah qolbiyah ini. Bahwa kita pasti akan menang. Pasti! Saya mau tanya antum dulu, Antum merasakan tidak, ada kemantapan hati itu di dalam? Bahwa tahun 2014 ini memang tahunnya PKS. Ada gak kemantapan hati seperti itu?

Nanti setelah rakornas ini, Ikhwah sekalian, antum kembali ke rumah dan buka lagi Alquran. Cari kata sakinah di dalam quran. Antum akan ketemu kata sakinah ini terulang sebanyak enam kali. Satu kali di surat Albaqarah, dua di surat Attaubah, tiga di surat Alfath. Semua kata sakinah ini diletakkan oleh Allah SWT dalam konteks peperangan. Semuanya. Dan itulah yang menandai semua kemenangan itu. Bahwa kemenangan itu dimulai disana. Secara berurut-urut, kira-kira Allah SWT mengatakan dalam 6 ayat ini, bahwasanya kemenangan itu tanda-tandanya adalah sakinah qalbiyah, baru turun atta’yuudul ilaahi, baru turun alfathu wannashr, baru turun attamkiin. Itu semuanya. Tapi awal dari semua itu adalah sakinah qalbiyah. Sakinah qalbiyah itu artinya zawaalu syak (hilangnya keragu-raguan). Dan kebalikannya alyaqiin bil hiqqah. Yang kedua, zawaalul khouf. Yang ketiga, zawaalul ‘ajz. Zawaalul khouf itu artinya hilangnya ketakutan, dan berarti al i’timaadu ‘alallah. Dan zawaalul ‘ajz, hilangnya perasaan lemah di dalam diri kita, itu artinya ats-tsiqotu bin nafs (percaya pada kemampuan diri sendiri untuk merealisasikan cita-cita yang ingin kita raih).

Saya ingin mencoba membacakan kepada Antum ayat-ayat ini. Ayat pertama tentang sakinah itu ada dalam surat Al-Baqarah dalam kisah Thalut:
itu:

(Al-Baqarah: 248)

Yang kedua di surat At-Taubah, saya ingin mulai dari yang ayat 40. Satu kali di ayat 26, satu kali di ayat 40. Yang di ayat 40 ini yang terkait dengan Rasullullah secara pribadi:

(At-Taubah: 40)

Coba perhatikan, ini suasananya suasana apa? Ini suasana orang kepepet. Berdua, ya kan? Kalau suasana Antum ini kan bukan suasana kepepet. Pemilu masih jauh. Iya kan? Dan tidak sedang dikejar musuh. Iya kan? Ini suasana kita suasana mantap. Tapi disini Allah SWT mengatakan, dalam situasi seperti itu, ketika Rasulullah mengatakan kepada Abu Bakr,



Lalu apa yang dikatakan Allah SWT setelah itu?

(Lalu Allah SWT menurunkan ketenangan-Nya)
Tapi yang aneh di dalam ayat ini adalah: annallaaha yansibus sakiinata ilaa nafsihii (bahwasanya Allah SWT menisbatkan sakinah itu kepada dirinya sendiri). Dia yang menurunkan sakinah itu. Setelah
Baru Allah setelah itu menurunkan tentara-tentara yang tidak kalian lihat. Tapi yang mulai diturunkan itu adalah sakinah.
Sekarang kita lihat lagi di dalam ayat 26, ini kisah tentang perang Hunain:

(Al-Taubah: 25)
Pada perang Hunain itu kaum muslimin kocar kacir pasukannya. Mendapatkan serangan mendadak dan

tidak tahu harus berbuat apa. Kalian pergi, terbirit-birit semuanya pergi
Setelah itu Allah menurunkan sakinah-Nya kepada Rasul-Nya.


Baru setelah itu Allah menurunkan tentara-tentara yang tidak kalian lihat. Dalam surat Al-Fath, Allah SWT mengatakan:
(Al-Fath: 4)
Dan selanjutnya Allah SWT mengatakan, juga di surat Al-Fath ini: (Al-Fath: 18)

(Lalu Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, berupa keyakinan itu)

(Maka Allah SWT menurunkan sakinah kepada mereka itu)
َ(Lalu Allah SWT memberikan balasan bًagi mereka berupa kemenangan yg dekat)

(Dan harta-harta rampasan yang begitu banyak, yang mereka ambil)
Jadi ghanimah itu datang setelah sakinah. Kursi-kursi di DPR itu nanti di kabinet semuanya datangnya setelah sakinah, fii quluubil mujaahidiin. Masalahnya sakinah itu ada tidak di dalam hati kita sekarang ini?
Antum perhatikan lagi, dan ini sekaligus penutup di dalam surat Al-Fath:

Coba perhatikan, sakinah tuh. Yang sana sumber perlawanannya adalah hamiyyatul jahiliyyah. Di sini sumber kekuatannya adalah sakinah qalbiyah (kemantapan hati).

Dalam sirah yang ditulis oleh Ust. Al Buthi, beliau mengatakan, ayat ini turun dua tahun sebelum fathul makkah. Dan ini sudah memberitakan bahwa kalian pasti akan membebaskan makkah itu. Tapi kaum muslimin tidak terlalu menangkap pesan itu di dalam ayat sesudahnya:
(Al-Fath: 27)
Ayat ini turun dua tahun sebelumnya, tapi berita bahwa akan terjadi fathul makkah itu sudah turun. Dan dua tahun sebelumnya, yang diturunkan pertama kali adalah sakinah qalbiyah. Pembebasannya kemudian belakangan. Lalu surat Al fath ini secara keseluruhan ditutup oleh Allah SWT dengan ayat:
(Alfath: 28)

Jadi, Ikhwah sekalian, sekali lagi kita tidak perlu menunggu tahun 2014 untuk mengetahui apakah kita akan menang atau tidak. Kemenangan itu harus kita putuskan sekarang ini. Dan kita memutuskannya itu bukan di atas kertas perencanaan yang kita tulis. Tetapi di dalam hati kita sendiri. Ada kemantapan hati tidak untuk menang? Saya mau tanya sekali lagi, apakah Antum semua merasakan kemantapan hati itu? Urusan strategi dan semuanya itu urusan teknis. Semua kemenangan-kemenangan besar dalam sejarah manusia diputuskan di dalam hati kita pertama kali. Dan ini yang disebut dalam bahasa Sayid Qutb, Al intishoru fil ‘alamid dhomiri awwalan tsumma fil ‘alamil waqi’i tsaniyan (kemenangan di alam batin terlebih dahulu sebelum kemenangan di alam kenyataan).
Tetapi, Ikhwah sekalian, kita ini semua punya satu persoalan. PKS ini seperti para pendaki gunung. Kita sudah sampai pada suatu ketinggian, kalau kita menengok ke puncak yang ingin kita capai, itu rasanya masih jauh, tapi kalau kita menengok ke bawah, itu lebih jauh lagi. Kalau kita turun, tambah capeknya. Mungkin lebih capek dibanding kalau kita naik. Kalau kita naik, beban kita bertambah, sumber oksigen kita berkurang. Kira-kira apa yang membuat nanti kita sampai ke atas itu?

Dari begitu banyak jaulah yang saya lakukan, dan banyak diskusi-diskusi dengan semua ikhwah, juga komentar-komentar orang luar tentang kita ini, saya merasa bahwa persoalan kita ini, dalam kaitan dengan sakinah qolbiyah ini, adalah belum hilangnya sepenuhnya unsur keragu-raguan itu. Dan keragu-raguan itu bukan keraguan atas kemampuan kita. Juga bukan keraguan atas pertolongan Allah SWT. Tapi ini lebih merupakan semacam kegagapan narasi. Apa iya kalau nanti kita memimpin, kalau kita berkuasa, kita bisa mewujudkan ide-ide besar kita itu dan mendeliverynya kepada masyarakat? Apa iya Islam yang kita bawa ini bisa mengantarkan kita memimpin republik ini? Ini pertanyaan yang sebenarnya sudah selesai di materi tamhidiyah satu dulu, waktu kita membaca buku tentang Khoshoishut tashowwuril islamiy, sudah selesai masalah ini. Tapi itu dulu alam teori. Waktu kita mulai bertarung di lapangan, kita ini mengalami apa yang disebut oleh Allah SWT:
(Al-Isra:74)َِ
(Kamu hampir-hampir condْ ong kepaْ da mereka sedikit saja)

Orang-orang memberondong kita dengan banyak pertanyaan, bahwasanya PKS ini tidak mungkin besar sepanjang dia membawa ide bahwa Islam adalah solusi. Bahwa PKS ini tidak bisa menjadi besar, karena dia mempunyai akar sebagai gerakan sosial dan bermetamorfosis menjadi partai politik, dan karena itu susah baginya untuk mengembangkan partai politik dengan sikap partai politik yang murni. Karena begitu dia mengembangkan sifatnya sebagai partai politik yang murni, kemungkinan besar dia akan ditinggalkan oleh basis sosialnya yang islami. Seperti ketika PKS mendeclare ide tentang partai terbuka, dia akan ditinggalkan oleh basis massanya yang islami.
Ini sama saja dengan kita menarik kembali perdebatan tentang agama dan negara, dakwah dan politik, jamaa’ah dan hizb. Tapi keraguan itu tidak sepenuhnya hilang. Apalagi mungkin ada yang bertanya, apa iya kita bisa melawan sistem kapitalisme sekarang ini? Apa iya kita bisa membuat suatu sistem sendiri? Nah, Ikhwah sekalian, semua keragu-raguan ini sebenarnya adalah penyakit yang diidentifikasi oleh para mujaddidin, para pembaharu di awal abad yang lalu. Itu yang diidentifikasi oleh mereka itu
َََّ َ
(Kalau bukan Kami yang membuat teguh hatimu)
semuanya. Ketika gerakan pemisahan akherat dan dunia ini, agama dan negara dipisah, politik dan dakwah dipisah, dalam kehidupan masyarakat muslim pada waktu itu, muncullah pribadi-pribadi yang terbelah. Pribadi-pribadi yang terbelah ini yang kemudian tidak bisa menyatukan, apa iya kita bisa menjadi muslim yang modern dan sekaligus muslim yang sholeh? Itu debat abad yang lalu. Dan debat itulah yang diselesaikan oleh Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna, ketika beliau mengatakan, Al- Islamu Diinun wa Daulah. Apa yang kita anggap sebagai barang-barang yang terpisah ini, Islamlah yang membuatnya menjadi satu. Bahwa agama dan negara itu adalah satu kesatuan. Ada dalam satu industri yang sama, namanya Shinaa’atul Hayah (Menciptakan Kehidupan). Pemisahan-pemisahan itu yang ingin disatukan. Dan inti dari semua dakwah Ikhwan pada waktu itu adalah ini semuanya, menyatukan hal-hal yang terpisah itu tadi.
Jangan ada lagi di antara kita nanti yang mengatakan setelah semua pengalaman politik… seperti apa yang dikatakan Muhammad Abduh, “Inni tubtu minas siyasah” (saya taubat dari politik), seakan-akan itu dosa besar, yang sebenarnya membuat kita taubat semata-mata karena kita memang mengalami kegagapan narasi. Kita tidak tahu bagaimana mempertemukan hal-hal yang telah dipertemukan oleh Islam itu, akhirnya kita juga ikut memisah-misahkannya. Sama persis seperti ketika kita tidak tahu bagaimana menyatukan antara hizb dan jama’ah dan seterusnya, antara dakwah, tarbiyah dan seterusnya sebagai satu paket yang menyatu. Seakan-akan kadang-kadang kita ingin mengatakan pada satu waktu, “ini ada gejala too much politic.” Nanti pada waktu yang lain, “mari kita kembali kepada tarbiyah.” Memangnya kita sudah keluar?

Ikhwah sekalian, saya berseloroh kepada seorang ikhwah, yang paling enak itu apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab, “pekerjaan yang paling saya sukai adalah jihad fi sabilillah,” kata Umar. Kalau ada perang, semua pekerjaan kita tinggalkan. Itu adalah amal yang paling afdhol di antara semua amal-amal yang tersedia pada waktu itu. Kita ke situ. Kalau tidak ada perang, apa yang paling disukai kata Umar? Attijaroh, kasburrizq, dagang. Itu yang paling bagus. Amal yang paling afdhol kalau tidak ada perang, kita dagang. Kalau kita dapat faedah, kita nafkahi diri kita sendiri, kita nafkahi keluarga, kita nafkahi tetangga-tetangga kita, sahabat-sahabat kita, kerabat-kerabat kita semuanya. Kalau ada lebihnya, kita infaq dan zakat dan seterusnya, sedekah untuk yang lain-lain. Masih banyak lebihnya lagi, tidak ada salahnya kalau kita mau menikmatinya untuk yang lain.. Begitu ada jihad, itu semua kita tinggalkan lagi, kita lari lagi pergi perang. Dan saya kira Antum semua di zaman tarbiyah dulu pasti menghafal nama sahabat yang meninggalkan istrinya pada saat dia sedang menidurinya, semata-mata karena ada nashirul jihad, “aljihadu, aljihadu ya nas!”Dia tinggalkan istrinya, padahal sedang digauli istrinya itu. Dia pergi dan syahid, sebelum junub. Artinya apa? Pekerjaan ini bukan pekerjaan yang terpisah. Semuanya satu kesatuan. Ada jihad, ini yang paling afdhol, kita ke sana. Ada begini, kita ke sini.

Jadi, Ikhwah sekalian, saya ingin mengatakan bahwa, inilah saatnya kita keluar dari era pemisahan- pemisahan itu, jadaliyatuddin wassiyasah waddaulah, wassiyasah wadda’wah. Itu semua kita tinggalkan ini semua. Karena ini adalah industri yang menyatu. Politik dan agama itu menyatu dalam satu industri yang namanya Shina’atul Hayah, bagaimana menciptakan kehidupan yang lebih baik. Sekarang coba Antum lihat Allah SWTْ mengatakan, ْ ٓ (AlAnfal:24)
Penuhilah panggilan Allah dan Rasul-Nya, kalau dia memanggilmu untuk hal-hal yang menghidupkan kamu. Yuhyiikum, itu dia. Itulah industri agama yang sesungguhnya, yaitu menciptakan kehidupan yang lebih baik. Apa beda itu dengan politik? Beda dengan politik? Industri itu?
Itu juga yang ingin dilakukan oleh para politisi. Sekarang Antum lihat semua tema kampanye politisi.
Satu kalimatnya sama semuanya: Better Life for Indonesia, Better Life for Jakarta. Semua tema kampanyenya sama, Jakarta yang Lebih Baik, Indonesia yang Lebih Baik. Orang pakai kata-kata yang berbeda saja, tapi intinya semuanya sama. Mereka semuanya ingin menciptakan kehidupan yang lebih baik. Dan karena itu politik dalam hal ini sama persis dengan agama, itu adalah industri kehidupan. Dan salah seorang syuyukh da’wah kita itu menulis buku tentang ini, dan persis diberikan judul sama dengan itu. Itulah industrinya dakwah. Nama bukunya pun seperti itu : Shina’atul Hayah (Menciptakan Kehidupan). Itu jugalah proses industri politik itu. Bahkan, Ikhwah sekalian, ketika Alquran menjelaskan tentang hukum qishash itu. Hukum qishash itu yang kita anggap sebagai sebuah
pembunuhan atas pembunuhan, itu dijelaskan oleh Allah SWT:
Jadi tidak ada perbedaan antara kedua industri ini.
(AlBaqarah:179)
Nah sekarang coba kita lihat lagi, Ikhwah sekalian. Begitu Nabi Isa a.s. ingin memberitakan tentang kehadiran Nabi Muhammad SAW, perhatikan kalimatnya:
ْْْْٓ(Ash-Shaff: 6)
(Dan memberi berita gembira tentang datangnya Nabi sesudahku, yang namanya adalah Ahmad). Dia datang dan memberi berita gembira itu.
Nah, Ikhwah sekalian, sekarang bagaimana caranya orang memahami bahwa industri agama itu adalah bagaimana menciptakan kehidupan yang lebih baik, kalau orang tidak menangkap situasi itu dari diri kita sendiri, iya kan? Saya mengatakan bahwa sakinah qolbiyah itu adalah awal dari sebuah kemenangan, kenapa Ikhwah sekalian? Karena kalau ada kemantapan hati di dalam hati Antum semuanya, kemantapan itu pasti naik ke mata Antum semuanya. Iya kan? Dan kalau di mata Antum ada kemantapan hati, sekarang Antum tinggal menanya orang-orang di sekeliling Antum, apa yang dirasakan orang-orang di sekeliling Antum tentang Antum? Keluar gak kemantapan itu? Kalau ada kemantapan hati, itu naik ke mata, dan sampai sorot mata ke matanya, dari matanya turun juga ke hatinya menjadi kemantapan hati juga. Iya kan? Jadi yang namanya emosi, optimisme, itu sesuatu yang menular.
Dan, Ikhwah sekalian, kalau kita ingin tahu, yang dimaksud dengan industri kehidupan itu adalah: bukanlah angka-angka. Bukan angka-angka. Ekonomi itu juga bukan tentang angka-angka. Bukan. Tetapi tentang sesuatu yang kita rasakan. Kalau Antum baca sekarang angka-angka makro ini, prestasi pemerintah ini tidak terlalu jelek. Tapi kenapa seluruh masyarakat indonesia marah sama pemerintah sekarang ini? Kenapa mereka marah? Kenapa ada pabrik mood yang rusak sekarang ini? Pabrik mood masyarakat sekarang ini, auranya itu aura negatif semuanya, aura marah. Iya kan? Apa saja yang kita lakukan, marah. Semua kita perdebatkan tanpa judul. Hari ini orang debat lagi tentang rok mini, saking tidak ada lagi judul. Tidak ada lagi yang bisa dimarahi, apa saja kita marahi sekarang ini. Karena aura kita aura negatif yang berkembang di masyarakat. Dan politik itu, Ikhwah sekalian, tentang itu. Menciptakan suasana-suasana itu.
Sekarang Antum perhatikan, Ikhwah sekalian. Kalau kita bicara angka-angka, saya ingin bertanya kepada Antum semuanya, Rasulullah mengatakan: “Khoirul quruuni qorni.” Iya kan? Saya mau tanya tuh, menteri keuangan zaman nabi itu siapa? Ada menteri keuangan zaman Nabi? Itu negara punya menteri keuangan tidak? Ada? Bendaharanya ada gak? PKS aja punya. Tidak ada. Antum cari
catatannya. Tidak ada. Dia disebut negara karena dia punya otoritas negara. Salah satu otoritas negara itu adalah memutuskan perang dan damai, membuat perjanjian dengan pihak lain, itu otoritas negara. Dia punya otoritas itu, tapi dia tidak punya seluruh kelengkapan semua negara modern, tidak ada itu kalau Antum baca dengan perspektif sekarang. Bahkan kalau Antum baca lagi jumlah muzakki dan mustahiknya, lebih banyak mustahiknya. Makanya tidak ada bendahara negara, semuanya habis terbagi. Bahkan proyek negara dibiayai oleh individu, karena negara tidak mampu membiayai proyek- proyeknya sendiri. Misalnya proyek perang tabuk, itu dibiayai oleh beberapa sahabat, bukan negara, negara tidak mampu membiayai peperangan itu.
Kalau kita bicara dalam tataran ekonomi, mungkin zaman Umar bin Abdul Aziz lebih afdhol dari zaman Nabi. Karena zaman Umar bin Abdul Aziz itu zero mustahik. Iya kan? Zero Mustahik. Gak ada mustahik zakat waktu itu. Mana ada di dunia sekarang ini tidak ada orang miskinnya? Ada di dunia sekarang? Gak ada. Itu hanya pernah ada satu kali dalam sejarah, di zaman Umar bin Abdul Aziz. Tapi zaman Nabi ada mustahik, jumlah orang penerima zakat banyak. Tapi kenapa disebut sebagai khoirul qurun? Ikhwah sekalian, disebut khoirul qurun, karena seluruh kebaikan yang datang di zaman Umar bin Abdul Aziz berawal dari abad itu. Iya kan? Itu adalah hasil akumulasi. Merekalah yang memulai. Dan waktu mereka memulai, mereka memulai kehidupan. Jadi yang ada pada zaman Nabi itu adalah “pergulatan kehidupan.” Itu yang ada. Orang-orang susah, tapi semua orang punya pikiran positif, punya semangat berjuang. Suasana emosi itu yang ada, yang melingkupi mereka. Dan itulah seharusnya yang merupakan industri negara dan industri agama. Itulah seharusnya
Makanya, Ikhwah sekalian, ayat-ayat tamkin di dalam Islam itu seluruhnya dihubungkan dengan persoalan emosi ini. Yaitu hilangnya apa yang disebut dengan al ‘awathifu ssalbiyah (emosi-emosi negatif) yaitu alhuznu wal khouf. Sekarang saya ingin membacakan kepada Antum beberapa ayat. Coba perbandingkan metafor quran tentang ini semuanya Ikwah sekalian. Allah SWT membuat perbandingan begini:
(An-Nahl: 97)
Kebalikannya Antum perhatikan Allah SWT mengatakan:
ْْْْ(Al-Hajj: 31)

Siapa yang musyrik kepada Allah seakan-akan dia:

(atau dibawa pergi oleh angin)
ِ
(ke tempat yang jauh).
Perhatikan metafor itu. Metafor tentang ketidakpastian:ْ ْ
ْ
ْ(terlempar dari langit),(maka dia disambarْ olْeh burung)


Apa yang memenuhi dunia sekarang ini, Ikhwah sekalian? Ada kepastian? Gak ada. Itu yang membuat orang marah. Akumulasi dari situasi itu semuanya. Orang-orang eropa, dulu saya berpikir demo-demo sambil bakar-bakar ban itu cuma ada di jakarta dulu zaman kita reformasi itu. Sekarang kita saksikan hampir di semua negara eropa juga ada. Dulu saya pikir cuma anak-anak KAMMI yang berani menduduki parlemennya di sini. Sekarang Wall Street juga sudah diduduki. Bedanya apa? Itu tidak ada hubungannya dengan tingkat kebudayaan, tingkat pendidikan. Tidak ada. Begitu negara tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, itu gejala yang lahir. Apakah mereka miskin sekarang? Tidak. Kaya mereka. Cuma mereka tidak siap berkurang kekayaannya. Itu saja. Mereka tidak akan jatuh miskin. Tidak, cuma mereka tidak siap turun di bawah taraf yang sudah ada. Makanya Sayid Qutb waktu menulis bukunya: Ma’rokatul Islami ma’a Ra’si Maaliyah (Perang Islam Melawan Kapitalisme) itu dimulai dengan pembukْaan ayat: ْ ْ ْ ْ ً ْ ْ
Kami hancurkan sehancur-hancurnya.

(Al Isra: 16)

Jadi, Ikhwah sekalian, itu semua alam perasaan. Dan sekarang, dalam teori-teori hubungan internasional, ide ini mulai dimunculkan. Kita tidak lagi membahas hubungan internasional sekarang ini dalam perspektif institusi, tetapi dalam perspektif emosi. Bangsa-bangsa itu, Ikhwah sekalian, bisa dilihat apakah trennya akan tumbuh atau tidak, bukan pada pencapaian hari ini, tetapi emosi, perasaan- perasaan yang memenuhi emosi masyarakat itu, apakah positif atau negatif. Makanya begitu kita masuk ke dalam Islam, yang hilang pertama kali adalah emosi negatif ini.

ْْْ(Fussilat: 30)
Emosi-emosi negatif ini, takut dan alhuzn, kesedihan atau kekecewaan ini, Ikhwah sekalian, itu adalah virus yang mematikan orang, yang membuatnya menjadi tidak berdaya, dan karena itu tidak mampu mencapai apa-apa. Kita boleh miskin dan kita boleh susah, tetapi yang jauh lebih penting dari itu adalah perspektif tentang kemiskinan dan kesulitan ini. Iya kan? Sekarang mungkin Antum berpikir, bagaimana caranya kita menang dalam pilkada DKI kalau kita tidak bisa maju sendiri, karena tidak punya uang? Atau bagaimana caranya kita menang dalam pemilu tahun 2014 kalau kita tidak punya sumber daya? Apakah masalah kita masalah sumber daya? Iya? Apa benar masalah kita masalah sumber daya? Iya? Saya yakin tidak. Waktu kita membuat partai dulu, kita juga tidak punya sumber dayapun. Iya kan? Tapi sumber daya itu adalah anak yang lahir dari pikiran. Bukan sumber daya yang melahirkan pikiran. Begitu kita punya tekad, begitu kita punya mau, sumber daya itu menyusul dengan sendirinya.

Oleh karena itu, alam emosi ini, Ikhwah sekalian, itu jauh lebih menentukan. Dan sekarang, yang tidak dirasakan orang di luar sana, adalah aura tentang sakinah qolbiyah yang keluar dari kader-kader PKS. Itu dia. Begitu aura ini keluar dari dalam diri kita semuanya, dan dirasakan oleh orang, orang menangkap getaran itu semuanya, mereka tunduk. Karena aura itu punya determinasi, dia memaksa orang untuk tunduk. Tetapi orang tidak akan tunduk, begitu dia tidak merasakannya. Dan itu apa yang dimaksud oleh Rasulullah SAW sebagai salah satu mu’jizatnya, wa nusirtu birru’bi mashiirota sya’bin. Kalau ada keyakinan di sini, berarti ada keraguan di sana. Kalau ada keraguan di sini, berarti ada keyakinan di sana. Itu jarang ketemu dua-duanya sekaligus. Iya kan? Jadi kalau Antum ingin menafsirkan semua survey yang ada sekarang ini, inilah tafsir yang sesungguhnya: “Orang-orang tidak menangkap aura itu tadi di dalam diri Antum.” Jangan salahkan tukang surveynya. Apalagi menganggapnya bukan bagian dari rukun iman. Jangan. Tidak perlu untuk menyalahkan tukang survey dan menganggapnya ini bukan bagian dari rukun iman. Tidak perlu semuanya itu. Kita hanya perlu

menanyakan, apakah orang di sebelah sana merasakan ada getaran itu? Begitu orang merasakan itu, pesan itu sampai ke sana. Dan begitu pesan itu sampai di sana, orang-orang akan berpikir, daripada kita bersaing dengan PKS, mendingan kita berkawan.

Soal berani dan takut itu, itu adalah ciptaan Allah SWT, bukan bakat yang kita bawa lahir. Bukan. Itu rezki dari Allah SWT, diberikan kepada kita pada waktu-waktunya. Allah yang mengirimkan ketakutan ke sana, mengirimkan keberanian ke sini. Dan keberanian ini yang merubah perspektif itu, yang banyak di sana kelihatan jadi sedikit. Bukan karena jumlahnya berkurang. Karena cara kita melihatnya. Iya kan? Begitu antum berpikir bahwa orang lain punya sumber daya yang hebat-hebat, yang banyak, kita tidak punya sumber daya. Oh gak begitu. Pikiran itu saja sudah cukup untuk melumpuhkan kita sendiri. Cukup. Nah itu yang ditegur oleh Allah SWT dalam perang Hunain,

(At-Taubah: 25)
Kita percaya pada uang. Tapi yang jauh lebih penting dari uang, adalah ide tentang uang itu sendiri. Bukan sekedar ide tentang bagaimana mendapatkannya, tapi juga bagaimana menggunakannya.

Dalam sejarah Islam, Ikhwah sekalian, kaum muslimin selalu me
nang waktu mereka sedikit. Dan siapa yang meruntuhkan Khilafah Islamiyah di Baghdad itu? Siapa? Itu pasukan primitif dari Tartar. Orang- orang Mongol yang tidak berpendidikan itu. Saya baca sejarahnya Jengis Khan. Dan saya tidak bisa mengerti bagaimana ceritanya orang ini bisa menghancurkan dan meruntuhkan Khilafah Islami yang sudah berdiri ratusan tahun sebelumnya. 40 tahun dari hidupnya, dia hidup sebagai buron. Waktu dia kecil, begitu lahir, ayahnya sudah dibunuh oleh musuhnya. Dan kabilah Mongol itu adalah terpecah ke dalam beberapa klan, dan mereka saling perang. Dia dikejar, dikejar, dikejar, tapi memang umurnya panjang. Terus menerus bersembunyi, keliling, keliling, keliling. Tidak ditemukan oleh musuh- musuhnya. Sampai akhirnya dia kembali, mulai membangun kekuatan kecil-kecil dan mulai melawan klan-klan yang lain. Menang sedikit-sedikit, dan dia berpikir bahwa klan-klan ini jangan berperang terus, kita satukan mereka. Daripada kita saling perang, mendingan kita perangi yang lain. Dia satukan energi mereka dan mulai memerangi yang lain. Dan apa yang oleh dilakukan Jengis Khan dalam peperangan itu? Kalau dia masuk ke suatu tempat, yang dia lakukan adalah dia bukan hanya membunuh orang, tapi menghancurkan seluruh harta benda yang ada di tempat itu. Dia tidak mau ambil, dia tidak mau harta rampasan. Semua harta dibakar, dibakar, dibakar. Semua dibumihanguskan. Tujuannya apa? Mengirimkan pesan kepada daerah-daerah lain yang akan didatangi. Dan karena itu para ahli sejarah mengatakan, bahwa muncul suatu mitos di kalangan kaum Muslimin di Syiria, di Damaskus, tentang orang-orang Tartar ini, sampai-sampai mereka mengatakan, “idzaa jaa-akumut tatar fatrukuh” (kalau orang-orang tartar datang, tinggalkan, jangan coba-coba melawan). Mereka sudah kalah, jauh sebelum mereka bertempur. Faham?

Nah, Ikhwah sekalian, kita bisa mengirimkan pesan kemenangan itu dari hari ini. Bahwa kita punya tekad, bahwa kita punya sakinah qolbiyah, ada kemantapan hati di dalam diri kita, dan kita yakin bahwa kita pasti bisa meraihnya. Dan, Ikhwah sekalian, kalau Antum lihat sekarang ini, yang namanya kemenangan itu seperti cuaca. Dan cuaca itu, menurut para saintist, ini barang cuma bisa diramalkan, tidak bisa dipastikan. Iya kan? Apakah kalau ada mendung, pasti ada hujan? Kalau ada mendung di langit jakarta, apakah setelah lewat beberapa puluh kilo dari langit jakarta, ada mendung juga? Dan cuaca ini barang yang dikirim-kirimkan oleh Allah SWT. Dikirim ke sini jadi gelap, dikirim ke sini jadi terang. Itu cuaca dipergilirkan. Dan cuaca ini yang sekarang kita lihat. Iya kan? Makanya orang-orang menafsirkan revolusi di Timur Tengah itu dengan istilah Arab Spring, ‘Arobiyyul Arbi’. Cuaca lagi bagus. Iya kan? Siapa yang pernah menyangka bahwa Ben Ali bisa turun oleh demonstrasi dalam

waktu dua minggu? Siapa yang pernah menyangka bahwa Husni Mubarak bisa jatuh dalam tiga minggu? Tidak ada yang pernah menyangka itu semuanya. Siapa yang pernah menyangka bahwa Qadafi akan mati dengan cara seperti itu? Gak ada yang pernah menyangka seperti itu. Dan tiba-tiba saja bermunculan partai-partai baru di semua tempat tirani itu dengan nama yang relatif sama semuanya. Ini namanya Khilafatul ‘Adalah. Iya kan?

Dan jauh sebelum revolusi itu datang, terlebih dahulu sudah ada apa yang namanya krisis ekonomi di Eropa. Tiba-tiba ada mendung di sana, dan ada matahari di timur. Iya kan? Yang di sana terjadi mendungnya datang tahun 2008, di sini datangnya tahun 2010. Apakah ada yang merencanakan itu? Tidak ada. Kemenangan itu, Ikhwah sekalian, taukidnya, penetapan waktunya itu adalah milik Allah SWT. Tetapi Allah SWT juga mengatakan, innallaaha idzaa qaddara syai’an khalaqa asbabahu, kalau Allah mentakdirkan sesuatu, dia menciptakan juga sebab-sebabnya. Tidak datang seketika, tapi diciptakan juga sebab-sebabnya. Nah, Ikhwah sekalian, apakah Antum semuanya tidak membaca itu semuanya dengan firasat seorang Mu’min, bahwa itu adalah tanda-tanda kiriman dari Allah SWT? Itu bukan kiriman dari Allah SWT? Apa mungkin ada musim semi di Timur Tengah dan ada musim dingin atau bahkan musim gugur di Indonesia? Mungkin itu terjadi? Itu tidak boleh terjadi. Kalau ada musim semi di sana, di sini pun juga harus ada musim semi. Dan, Ikhwah sekalian, musim semi peradaban itu hitungannya bukan tahun, bukan dekade, itu abad-abad hitungannya. Ini memang abad kita, dan ini abadnya mereka turun. Ini adalah sunnatut tadaawul. Ini adalah shifting of civilization, peralihan peradaban. Sudah waktunya mereka turun, dan sudah waktunya kita naik.

Dan, Ikhwah sekalian, saya ingat yang menarik saya dari buku Majmu’atur Rosail itu. Saya membacanya waktu masih semester dua dulu waktu kuliah, dan saya mengkhatam buku itu persis pada malam ujian, dan setelah itu angka saya turun, jeblok. Saya keluar dari lima besar waktu itu, karena saya tidak memikirkan ujian sama sekali, saking menariknya buku itu, karena saya begitu baca tidak stop sampai selesai, padahal itu lagi musim ujian. Dan yang paling menarik saya dari buku itu, adalah paradoks yang ada dalam buku itu. Ada anak muda berumur antara 20 sampai 40 tahun yang menulis buku itu di antara umur itu. Hidup di bawah sebuah negara yang sedang dijajah oleh Inggris. Sangat miskin, sangat terbelakang. Tetapi mendapatkan marotibul ‘amalid da’awi sampai kepada tahapan yang paling tinggi, dan dia menyebutkan yang namanya ustadziyatul ‘alam. Darimana lahirnya itu? Darimana lahirnya itu keyakinan? Itu gelora. Dan waktu itu, hampir orang tidak ada yang percaya bahwa itu suatu waktu akan jadi kenyataan. Begitu arab spring ini terjadi, sekarang semua orang percaya, apa yang kita maksud dengan era ustadziyatul ‘alam itu adalah waktu yang sebentar lagi akan tiba.

Saya tidak menerjemahkannya langsung, nanti setelah tamat baru saya menerjemahkannya bersama Ust. Rofi’ Munawar. Itu yang paling saya kagumi dari buku itu, dari semua penjelasannya. Setelah itu saya membaca buku tentang Mudzakkiratud Da’wah wa Da’iyah. Dan menemukan bagaimana proses psikologis beliau waktu menulis buku itu, dan perasaan-perasaan pribadinya yang menyertainya. Keyakinan seorang anak muda yang berumur 20 sampai 40-41 tahun. Orang-orang menganggapnya itu utopia. Itu utopia pada waktu itu. Tapi tidak ada kata yang lahir dari keyakinan, yang keluar percuma dan sia-sia. Setelah itu muncullah buku-buku yang lainnya. Apa yang menyebabkan Sayid Qutb menulis pada waktu itu? Orang yang hidup di alam penjajahan. Begitu dia pulang dari Amerika, dia bergabung dengan dakwah ini, dan mulai menulis buku Al-Mustaqbalu li Hadza alDin. Amerika yang baru menang perang dunia kedua, bersama sekutunya di Eropa yang baru menang perang dunia kedua. Tiba-tiba diramalkan oleh Sayid Qutb: Al-Mustaqbalu li Hadza Aldin (Masa Depan adalah Milik Agama Ini). Itu paradoks pada waktu itu, tapi itu yang membuat saya secara pribadi pada waktu itu beriman, percaya bahwa orang ini menulis dari sesuatu yang lain. Ini yang disebut dengan sakinah qolbiyah. Apakah terwujud saat itu juga? Tapi dia sudah memulainya.

Dan sekarang, orang-orang berpikir mungkin setelah Eropa jatuh, setelah Amerika jatuh, ada Cina yang akan bangkit, ini adalah abad Asia. Dan kalau kita bicara Asia, artinya kita bicara Cina, bicara India. Indonesia ikut sedikit-sedikit. Iya kan? Saya ke Cina dan mulai juga merasakan, apa benar ya abad itu ada? Saya baca angka-angka, saya baca, kumpulkan beberapa referensi tentang Cina, lihat-lihat, ketemu dengan orang-orang, diskusi. Dan saya mulai merasa bahwa, sebagaimana semua peradaban yang lain, Ikhwah sekalian. Setiap satu peradaban itu, karena umurnya selalu panjang, itu biasanya disangga oleh beberapa etnis, tidak satu. Islam yang umurnya seribu tahun itu, disangga oleh banyak etnis. Oleh karena itu spot light negara Islam itu pindah-pindah. Pada mulanya di Madinah, habis itu pindah ke Baghdad, habis itu ke Irak, habis itu pindah ke Damaskus dalam waktu yang cukup lama, balik lagi ke Irak, habis itu pindah ke sebelah barat ke Maroko, iya kan? Habis itu pindah lagi ke wilayah Asia Tengah, ke wilayah Asia Selatan dan seterusnya. Tidak satu, banyak etnis yang menyangga.

Peradaban Eropa juga muncul seperti itu. Pada mulanya adalah Spanyol dan Portugis. Iya kan? Antum baca sejarah Eropa. Lama-lama pindah ke barat, lebih ke barat lagi. Iya kan? Muncul Austria dan Jerman. Setelah itu muncul Perancis dan Inggris. Setelah perang dunia kedua, ini pindah ke Amerika. Iya kan? Setelah tahun 2008 pindah ke Cina. Mau mancung atau pesek yang membawa ideologi ini, Cina adalah ekstensi dari kapitalisme. Cina dalam sejarahnya tidak pernah membawa risalah peradaban tertentu. Dia bisa bangkit sekarang, tetapi ia adalah ekstensi kapitalisme. Dan dia akan jatuh persis sebagaimana negara-negara kapitalis yang lainnya.

Jadi, Ikhwah sekalian, yang kita hadapi sekarang ini adalah ini. Dan karena itu sekarang, setelah era revolusi ini, orang-orang mulai percaya, bahwa yang kita maksudkan dengan Al-Mustaqbalu li Hadza Aldin itu adalah barang yang dekat sekarang ini. Dan, Ikhwah sekalian, yang kita perlukan adalah tangga. Dan tangga menuju ustadziyatul ‘alam itu namanya negara. Tapi tujuan kita bukan negara itu sendiri, itu hanya tangga. Tangga untuk apa? Tahqiiqu Maqom Alsyahadah ‘ala AlNas. Karena itulah risalah kita, untuk merealisasikan ma’na syahadah (kesaksian) kepada manusia. Dan yang kita maksud syahadah ini adalah seperti yang disebutkan Allah SWT: ًْ(Al-Baqarah: 143)

Apa yang kita maksud? Yang pertama adalah asy-syahadatul bayaniyah. Asy-syahadah bayaniyah adalah kesaksian naratif, bahwa kita sudah menyampaikan risalah ini kepada orang. Karena itu pertanyaan Rasulullah di hajjatul wada adalah: Alaa hal balaght? Dan yang dimaksud dengan asy- syahadatul bayaniyah di sini adalah mengikuti apa yang disebutkan oleh Alquran dengan istilah albalaghul mubin, apa narasi itu sampai secara jelas atau tidak.

Nah, Ikhwah sekalian, yang saya rasakan sekarang ini adalah bahwa kadang-kadang kita mengalami kegagapan naratif untuk mengumpulkan hal-hal yang menyatu itu tadi. Kita sendiri gagal secara naratif menyatukan itu tadi. Padahal itulah sesungguhnya tugas kita itu. Itulah tugas kita yang sesungguhnya. Penyatuan naratif itu. Karena itulah tipikal Islam yang kita bawa, yaitu annazhrotusy syumuliyah, perspektif yang holistik terhadap segala sesuatu. Misalnya kita lihat sekarang ini soal BBM, saya berpikir kalau orang bertanya, kenapa BBM harus naik? Dalam perspektif APBN memang harus naik, tapi kalau mengelola negara itu sekedar APBN saja, alangkah bodohnya kita ini? Tahu kenapa kita bodoh? Ada 240 juta penduduk Indonesia tiba-tiba ikut terguncang karena ada koboi-koboi Amerika sedang saling gertak di selat Turmuz. Israel mengancam akan menyerang Iran, Amerika juga ancam Iran, Iran bilang kita tidak akan tunduk. Baru mereka saling gertak, harga minyak naik. 240 juta di sini yang tidak ada urusannya dengan perang itu ikut merasakan. Apa iya sesederhana itu cara kita berpikir dalam mengelola negara? Orang di sana yang bekelahi, kita di sini yang bayar?

Jadi yang kita perlukan adalah kemampuan naratif, asy-syahadah albayaniyah. Yang kedua adalah asy- syahadatul adaa’iyah (kesaksian performance). Dan menurut saya, Ikhwah sekalian, era abad yang lalu, era Al Banna, era Sayid Qutb, era mereka ini semuanya, menurut saya, itu adalah era ideologi. Era kita ini adalah era negara, era performance. Mereka dulu menjelaskan Islam secara naratif. Sekarang kita musti menjelaskan Islam secara performance. Itulah tugas kita sekarang ini. Dan karena itu, Ikhwah sekalian, target kita untuk sampai ke 3 besar, 2 besar, 1 besar dan seterusnya memimpin republik ini, itu adalah tangga untuk mentahqiq maqomusy syahadah yang kita inginkan itu.

Saya ingin tanya Antum semuanya, apakah maqomusy syahadah itu bukan satu maqom yang Antum mimpi-mimpikan semuanya? Saya membaca buku Majmu’atur Rosail itu sebagai anak kampung dulu. Datang dari kampung, datang ke Jakarta, dan membaca buku itu, lalu kemudian mencoba mendramatisasinya di dalam diri saya sendiri, membayangkan kita ini anak kampung tiba-tiba datang membawa risalah ini dan menjadi ustadziyatul ‘alam. Apa itu bukan suatu kehormatan? Ini bukan urusannya kursi DPR!

Ikhwah di Kuwait, (saya berkunjung ke Kuwait beberapa waktu lalu sebelum mereka pemilu), saya ditanya, Antum kan kenal Kuwait dengan baik (saya diundang di akademi politiknya). Antum kan kenal Kuwait dengan baik, jadi apa saran Antum tentang Kuwait ini? Ana bilang, kalau Antum berpikir cuma kursi parlemen, terlalu kecil ide Antum ini. Kenapa, dia bilang. Dulu Antum dapat 2, naik 4, naik 6, turun 4, turun 2, turun 1, naik lagi 2, naik 3, terus, begitu aja Antum kerjanya. Yang Antum perebutkan cuma 50 kursi di parlemen Kuwait. Paling maksimal Antum capai 6. Iya kan? Jadi cuma itu cita-cita Antum? Cuma itu saja? Terlalu kecil.

Saya bilang kita ini di Indonesia, jelek-jelek kita di Indonesia, begitu lahir, kita punya satu hak yang Antum tidak punya. Apa itu? Kita punya hak jadi Presiden Republik Indonesia. Antum tidak punya hak jadi Raja Kuwait. Iya kan? Antum dilarang sejak lahir bermimpi untuk jadi Raja di Kuwait. Apa itu bukan satu kezhaliman yang luar biasa bagi Antum semuanya? Dia bilang, wallahi Antum ini bicara bahaya buat kita ini.. Sekarang Antum menganggapnya bahaya. Kalau Antum cuma sekedar kursi parlemen ini, terlalu kecil. Mimpi Antum itu, hak Antum sebagai manusia merdeka, yang diberikan Allah pada Antum, dicabut oleh raja. Antum tidak boleh mimpi jadi raja. Iya kan? Antum semua di Teluk ini, dikasih minyak oleh Allah SWT, dikasih kekayaan luar biasa semuanya, tapi dicabut hak Antum untuk bermimpi. Luar biasa. Dan Antum ridho dengan kehidupan seperti itu. Itu masalahnya. Dia bilang, wallahi bahaya Antum, bahaya buat kita di sini. Saya bilang, saya harus menyampaikan apa yang ada di dalam diri saya. Dan menurut saya, ini dalam pembicaraan dengan banyak qiyadah di Indonesia, semua pendapat mereka juga begitu. Itulah persoalan Antum di Kuwait, dan di semua negara Teluk, dan dulu di semua negara arab. Plafon amal Antum terlalu pendek, cepat disundul, iya kan? gampang diraih, cuma parlemen.

Saya bilang tahun 2005, kita juga dulu datang ke ikhwah di Mesir. Bicara tentang mereka. Kita bilang, ini sih obatnya cuma satu buat Antum. Apa? Revolusi. People power, turun ke jalan. Dan kita sudah coba di Indonesia. Kita tidak sendiri, bersama orang lain, tetapi setidak-tidaknya kita punya pengalaman. Dan berhasil. Kenapa Antum tidak coba di sini? Mereka waktu itu bilang, oh Anda tidak tahu siapa itu Mubarak, Mubarak itu beda dengan Suharto. Beda. Saya tidak membantah mereka pada waktu itu, cuma saya berpikir-pikir, kira-kira berapa juta orang yang sudah dibunuh oleh Mubarak. Saya kira gak sampai segitu. Penjara orang banyak. Ya bunuh ada lah, tapi tidak sekejam yang mereka bayangkan itu . Ini persepsi. Tapi kita bilang, seluruh alasan untuk meledakkan revolusi itu sudah ada. Kenapa Antum tidak memulainya? Mereka bilang gak bisa. Kita ini laa nu’minu bits-tauroh walaa binataa’ijihaa (kita tidak percaya pada revolusi dan semua hasil-hasil revolusi). Waktu itu tahun 2005

mereka mengatakan begitu. Waktu itu saya malah tanya, umurnya Mubarak berapa? Mereka bilang, 78. Saya bilang, manusia di umur seperti itu.. Antum kadernya berapa? (Dua juta setengah). Kalau dua juta setengah orang, tiap hari dua minggu saja turun di Kairo sini, Mubarak nonton dari tivi, insya Allah dia semaput sendiri. (Ah itu tidak mungkin, tidak mungkin terjadi).

Tapi begitu mereka turun, umur Mubarak cuma tiga minggu.
Lebih dari satu minggu dari yang kita sampaikan pada waktu itu. Dan ternyata mereka mulai percaya, bahwa revolusi kadang-kadang ada gunanya juga. Tetapi, Ikhwah sekalian, itu masalah keimanan. Itu masalah kemantapan hati. Waktu itu mereka tidak mantap. Akhirnya kemantapan itu harus dipicu oleh korban yang namanya Bouazizi di Tunis. Ini orang hamba Allah satu ini kasihan, ini baru menikah, insinyur, tidak punya rencana revolusi apa-apa gitu. Cuma begitu tidak berdayanya, dia bakar dirinya sendiri. Begitu tidak berdayanya. Dan itulah semua yang memicu, dan tiba-tiba suasana berubah. Tiba-tiba suasana berubah. Tetapi waktu itu mereka punya persepsi, bahwa itu tidak mungkin terjadi.

Oleh karena itu, Ikhwah sekalian, kemenangan-kemenangan besar yang kita raih itu, sekali lagi, itu bermula pada mulanya dari keyakinan yang ada di dalam diri kita. Dan sekarang jangan bertanya, kalau kita sudah yakin, terus strategi elektoralnya seperti apa? Strategi itu urusan teknis. Itu masalah yang sederhana. Begitu Antum punya keyakinan, keyakinan ini sendiri bekerja di dalam diri kita, dan itu akan membuka sel-sel otak kita sendiri untuk menemukan ide-ide itu dengan sendirinya. Dengan sendirinya akan kita temukan. Apakah kita punya bayangan tahun ’98 bahwa kita akan berkumpul di Jakarta dalam jumlah sebanyak ini? Gak ada juga dalam bayangan kita waktu itu. Yang kita punya waktu itu, adalah keyakinan bahwa kita bisa. Iya kan? Keyakinan bahwa kita bisa. Dan setelah kita lalui, ternyata memang kita bisa. Apakah kemampuan kita jelek? Tidak. Tapi kalau Allah menginginkan kita menang, kadang-kadang Dia tidak membuat kita sangat kuat. Yang pertama kali dilakukan oleh Allah adalah membuat orang lain sangat lemah. Iya kan?
Apa Antum tidak membaca tanda-tanda itu juga? Apa itu bukan kiriman dari Allah SWT? Jadi kalau tanda-tandanya dalam skala global sudah ada, dalam skala lokal di depan mata Antum sendiri sudah ada, masih ada alasan untuk tidak memiliki kemantapan hati? Masih ada alasan untuk tidak memiliki kemantapan hati? Sekarang saya mau kembali bertanya, sekarang hati Antum lebih mantap atau tidak?

Kalau sudah mantap, saya ingin mengatakan kepada Antum semuanya:
ْْْ (Ar-Ruum: 60)

Bersabar. Terus kita bekerja. Janji Allah itu pasti benar.

Janganlah orang-orang yang tidak percaya itu meremehkan kamu.
Biarlah mereka menangkap aura itu. Keyakinan, kemantapan hati kita, di dalam mata kita, di dalam sorot mata kita, dalam ucapan-ucapan kita, yang penuh dengan kepercayaan diri seperti itu dan penuh tawakkal kepada Allah SWT, supaya emosi ini menyebar. Dan jika emosi ini menyebar, orang-orang akan merasakan begini: Bersama PKS Kita Punya Harapan, Bersama PKS Ada Kepastian, Bersama PKS Ada Hidup yang Lebih Baik. Begitu pesan itu sampai kepada mereka semuanya, Antum tidak perlu menunggu quick count. Kita sudah bisa memastikannya bahwa insya Allah kita akan menjadi pemenang pada Pemilu 2014.

Alahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Tidak ada komentar: