Muhammad Syihabuddin
A. Pendahuluan
Salah satu persoalan yang menarik untuk ditela’ah dari PKS adalah Majelis Syura (MS). Hal ini karena MS adalah jantung partai: lembaga tertinggi dan lembaga sentral, dalam policy decition di
tubuh PKS. Sebagai lembaga yang paling otoritatif dalam pengambilan
kebijakan partai dakwah ini maka tidak ada lembaga atau kader partai di
bawahnya yang tidak tunduk dan taat atas segala keputusan yang
ditetapkan MS.
Sejauh
ini belum ada sebentuk konflik atau ketidakpuasan berkepanjangan
mengemuka dari dalam PKS akibat kebijakan MS. Sebagai ilustrasi, tidak
ada geliat perlawanan dari personal kader atau suatu DPD PKS, yang
berhasil ditangkap media, terhadap MS PKS karena telah memilih Tifatul
Sembiring sebagai presiden partai ini, di saat hampir seluruh partai
politik dirundung pertikaian internal sebagai buntut adu kepentingan
saat pemilihan ketua umum.
Tulisan ini akan mengelaborasi secara mendalam MS dalam struktur PKS,
sebagai partai Islam Modern. Lebih jauh, tulisan ini akan melihat
perajutan nalar syura dengan nalar demokrasi “sekuler” sehingga
melahirkan suatu demokrasi ala PKS yang justru mampu menumbuhkan
loyalitas dan militansi para aktivis dan kader PKS.
B. Konsep Syura, Islam dan Demokrasi Menurut PKS
Konsepsi
Syura dalam wacana politik Islam selalu saja menarik untuk
dibincangkan, terutama sekali jika hal itu ditarik ke suatu persandingan
konsep Syura dengan demokrasi. Secara etimologis, Syura
berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi. Majelis
Syura berarti juga majelis permusyawaratan atau badan legislatif.
Istilah Syura berasal dari kata kerja syawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata kerja syawara adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara (berunding, saling bertukar pendapat), syawir (meminta pendapat, musyawarah), dan mutasyir (meminta pendapat orang lain). Syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara.[i]
Dalam Islam, syura diletakkan sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, politik dan pemerintahan. Syura merupakan
suatu sarana dan cara memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang
mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang
sifatnya mengikat, baik dalam bentuk peraturan hukum maupun kebijakan
politik. Setiap orang yang ikut bermusyawarah akan berusaha menyatakan
pendapat yang baik, sehingga diperoleh pendapat yang dapat menyelesaikan
persoalan yang dihadapi. Namun demikian ihwal pelaksanaan Syura, tidak ada nash Al-Qur’an yang memberikan paparan detail tentangnya. Nabi Muhammad SAW—yang telah melembagakan dan membudayakan syura karena
ia gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya—tidak mempunyai pola dan
bentuk tertentu. Karena itu, bentuk pelaksanaannya disesuaikan dengan
kondisi dan zaman umat Islam.[ii]
Musyawarah
secara metodologis diartikan pula sebagai forum di mana setiap
persoalan yang menyangkut kepentingan umum atau rakyat dicari solusinya
dan dipertimbangkan berdasarkan alasan-alasan yang rasional. Sementara
itu, hasil musyawarah bisa saja berupa kesepakatan bersama (konsensus atau ijma’),
dan bisa juga didasarkan pada suara mayoritas, sebagaimana pernah
dilakukan Nabi dalam musyawarah menghadapi musuh Quraisy Makkah. Dalam
musyawarah tersebut, Nabi mengambil suara terbanyak dengan keputusan
menghadapi musuh di luar kota Madinah yaitu bukit Uhud.[iii]
Konseptualisasi syura dalam
perkembangannya memberikan kontribusi bagi pengkayaan metodologi dalam
proses pengambilan keputusan secara mufakat dalam politik Islam. Namun,
konsep syura juga memiliki kontribusi besar bagi dialog antara politik
Islam dengan demokrasi. Dari sini muncul kesan, musyawarah atau juga
syura adalah bagian dari konsep penting yang dilahirkan dari peradaban
Islam, dan karenanya masyarakat Islam tidak perlu mempertimbangkan
”produk” dari luar Islam, apalagi memakainya. Produk ”Barat” yang selalu disejajarkan dengan syura dalam Islam adalah demokrasi.
Demokrasi—secara
epistemologis dan, bahkan, sebab ia lahir di luar teritori negara Arab
semata—seringkali diklaim sebagai produk ”kafir” dan karenanya harus
ditolak, sepenuhnya ataupun sebagain kecilnya. Wacana inilah yang dalam
masyarakat muslim selalu menggelitik, terutama kalangan muslim
fundamentalis. Benarkah Islam sesuai (compatible) dengan
demokrasi ”sekuler”, dalam sistem politik modern? Jika tidak sesuai
sepenuhnya, sejauh mana batasan dalam demokrasi yang sesuai dengan Islam?
Pada
dasarnya pemahaman PKS terhadap demokrasi juga didasarkan pada nilai
yang sama dengan beberapa kelompok fundamentalis lain, seperti Hizbut
Tahrir (HT) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Dua
kelompok terakhir berada dalam posisi ”kritis”, bahkan menolak, sistem
demokrasi untuk diterapkan dalam dunia Islam. Islam memiliki sistem
sendiri yang berbeda dengan sistem demokrasi ”kufur-Barat”.
Abu
Ridho, salah satu ideolog PKS, berujar bahwa sistem pemerintahan Islam
tidaklah sama dengan sistem pemerintahan lainnya. Sistem Islam itu unik
dan hanya bersandar pada aturan-aturan Ilahiah. Nilai-nilai
ilahiah intinya adalah pengesaan (tauhid) Allah dengan setulus-tulusnya
dan semurni-murninya. Tauhid yang sama sekali bersih dari noda-noda
syirik harus menjadi asas tata kehidupan suatu bangsa atau masyarakat.
Sistem itu tidak bisa diidentikkan dengan teokrasi sebagaimana dipahami
kalangan Kristen dalam sejarah bangsa-bangsa mereka melalui pemerintahan
elit-elit agama (teokrasi), karena dalam Islam tidak dikenal sebutan
“tokoh agama”.
Sistem
ini juga menampik terwujudmya pemerintahan otokrasi, sebab dalam Islam
penguasa bukanlah otoritas tunggal. Hal sama juga, pemerintahan Islam
bukan pemerintahan rakyat karena ia bukan demokrasi dalam arti sempit.
Oleh karena itu, anggapan bahwa sistem pemerintahan Islam sama dengan
sistem tertentu dari sistem-sistem lain yang dikenal itu, menurut Abu
Ridho[iv]
sesungguhnya telah mencemarkan dan menjauhkan dari realitas makna
sebenarnya dengan makna sesungguhnya. Kepemimpinan Islam tegak di atas
dua pilar; Syariat Islam dan Umat Islam, yang masing-masing keduanya
bersifat unik.
Hanya
saja, berbeda dengan HTI dan MMI, PKS masih tetap menerima dan memakai
mekanisme demokrasi untuk saluran politik formal dalam perebutan
kekuasaan, meski dengan batas-batas tertentu. Mendasarkan pada
pernyataan Hasan Al-Banna, Anis Matta menyatakan, meskipun demokrasi
bukan sistem politik Islam, namun demokrasi merupakan sistem politik
modern yang paling dekat dengan Islam. Demokrasi
adalah pintu masuk bagi upaya pemberdayaan umat, kemudian melibatkannya
dalam pengelolaan negara, dan akhirnya memberinya mandat untuk memimpin
dirinya sendiri[v]. Penegasan
Hasan Al-Banna dan Abu Ridho itu menunjukkan bahwa penerimaan terhadap
demokrasi ini bersifat minimalis dan tidak ajeg. Mereka melakukan pemilahan mendasar pada sisi mana menerima atau membuang demokrasi. Penegakan
sistem demokrasi bukanlah tujuan politik PKS. PKS memiliki konsepsi
politik tersendiri yang akan diperjuangkan lewat saluran demokrasi:
Islam.
Satu
alasan lain penerimaan demokrasi oleh PKS dinarasikan secara apik oleh
Anis Matta bahwa titik temu politik PKS dengan nilai demokrasi, terutama
pada aspek partisipasi. Konsep partisipasi yang ditawarkan sistem
demokrasi memiliki relevansi dengan politik Islam, karena menjadikan
posisi tawar masyarakat terhadap negara semakin kuat, berbasis pada
kebebasan dan hak asasi manusia, sedang keunggulan akal kolektif
berbasis pada upaya untuk merubah keragaman menjadi kekuatan,
kreatifitas, dan produktifitas. Oleh karena itu, demokrasi memberikan
kontribusi terhadap pemberdayaan masyarakat.[vi]
Dengan penerimaan “relatif” pada demokrasi, terutama pada level
partisipasi, maka tidak menjadi hambatan syar’i bagi PKS masuk ke dalam
gelanggang demokrasi untuk turut menjalani kontestasi politik dengan
partai lainnya.
Bagi
PKS, dengan mengikuti garis politik Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM),
demokrasi itu tidak diharamkan asal tidak bertentangan dengan syari’ah.
Kekuasaan itu ditangan umat, tapi kedaulatan ada di tangan Allah sebagai
sumber dan tata nilai serta prinsip keberislaman. Berbeda dengan diktum
demokrasi sekuler, ”kedaulatan ada di tangan rakyat dan suara rakyat
adalah suara Tuhan”, Islam lebih memilih ”kedaulatan ada di Tangan
Tuhan, dan Suara Tuhan harus menjadi suara rakyat. Sejauh pemahaman
demokrasi semacam itu, maka PKS tidak mengharamkannya[vii].
Jelas
sudah, bahwa PKS tidak menampik kehadiran demokrasi, meskipun juga
tidak menerima secara membabi buta terhadapnya. Konsepsi pemerintahan
Islam yang sedikit banyak “meminjam” demokrasi dalam hal praktek
politiknya tetapi tetap menjadikan Tuhan sebagai sumber inspirasi dan
landasan filosofisnya, dalam sejarah pemikiran politik memiliki sandaran
teoritiknya pada satu konsepsi “teo-demokrasi” ala Maududian. Sistem
pemerintahan ini merupakan sistem demokrasi yang bersifat ketuhanan,
ketika orang-orang Islam melaksanakan kedaulatan rakyat itu dibatasi
oleh kedaulatan Tuhan. Dalam turunan praksisnya, Maududi melukiskan
eksekutif di bawah sistem pemerintahan diangkat oleh kehendak umum dari
orang-orang Islam yang mempunyai hak untuk memberhentikannya. Segala
persoalan administratif dan suatu hal yang secara eksplisit tidak
dirumuskan oleh syariat akan diputuskan secara konsensual oleh kalangan
Islam. Tiap-tiap muslim yang mampu dan memenuhi syarat untuk memberi
pendapat tentang masalah-masalah hukum Islam, berhak menafsirkan hukum
Tuhan ketika penafsiran itu dibutuhkan. Dengan kata lain, Islam telah
menggariskan hukum dan kedaulatan (al-hakimiyah) itu hanya
milik Tuhan semata, meski dalam tataran operasionalnya harus melewati
persetujuan seluruh rakyat muslim yang dicerminkan melalui ahlul hall wal aqd atau Majelis Syura.[viii]
Meski tetap menyisakan kritik, pandangan Maududi—sosok
yang mendirikan cabang dan publikasi Ikhwan di Pakistan— bagi kalangan
Islamis moderat seolah merupakan jalan tengah antara dua kutub yang
berseberangan, antara teokrasi dan demokrasi sekuler, dan karenanya pula
ingin mendamaikan perdebatan tak berujung ihwal penerimaan demokrasi
dalam Islam. Islam tidak phobi dengan demokrasi, karena satu-satunya
instrumen untuk meraih kekuasaan secara beradab dan manusiawi dalam
sistem politik modern adalah melalui demokrasi (elektoral). Namun,
demokrasi dengan sandaran individualisme dan sekularitasnya jelas tidak
mendapat tempat dalam rumusan politik Islam, sebagaimana juga diikuti
oleh PKS. Sebagai gantinya, ”Majelis Syura” dipilih PKS sebagai
mekanisme ”demokrasi-Islam” dalam menjalankan pemerintahan politiknya.
Beberapa prinsip paling penting Syura dalam tradisi al-Ikhwan al-Muslimun yang diikuti oleh PKS adalah:[ix]
- Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah dan ummat, dan merupakan pengkhianatan kepada amanah jika telah tampak baginya kebenaran namun ia berpaling darinya dan mengikuti pandangan penguasa dan partai, atau karena pandangan tertentu.
- Agar semua anggota majelis berakhlaq Islam dalam Syura, tidak dibolehkan berbagai keputusan dilahirkan dari berbagai manuver, blok, kesepakatan atau perundingan di luar majelis. Mayoritas suara juga tidak selalu menjadi andalan dalam menghasilkan keputusan, melankan akhlaq mulia.
- Sesungguhnya Islam tidak menjadikan mayoritas sebagai keputusan, jika terdapat hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunah Nabi. Ini bertentangan dengan sistem demokrasi Barat yang menjadikan suara mayoritas sebagai kebenaran mutlak, hingga menjadikan keputusannya itu sebagai undang-undang tertinggi, dan undang-undang lain yang bertentangan dengannya harus diubah.
- Terkait dengan syarat kepemimpinan dan pertanggungjawaban berlandaskan syari’at Islam, anggota majelis haruslah orang-orang terhormat dan mendapatkan tempat sebagai tokoh di tengah masyarakat. Keadilan adalah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang calon atau anggota majelis.
C. Sketsa Majelis Syura PKS
Demokrasi dalam tubuh PKS dilaksanakan melalui MS. Hal ini menegaskan bahwa MS dalam tubuh PKS bukan
semata institusi yang lahir di luar jangkuan ideologi partai. MS bukan
pula sekedar aplikasi praktis dari sebuah kebutuhan kelembagaan partai.
MS tak lain dan tak bukan merupakan manifestasi dari gumpalan ideologi
Islam yang tersemat dalam nalar politik PKS. Oleh karena itu kehadirannya pun akan dioptimalisasikan sebagai mekanisme pengganti demokrasi dalam menjalankan pemerintahan di tubuh PKS.
Berangkat dari kenyataan tersebut, maka MS setidaknya menjadi model
bagi sebuah pemerintahan tertentu yang ingin dicoba kembangkan PKS. Bahkan tidak menutup kemungkinan sistem Syura—dengan segala kekhasannya dan sejauh ini baru
diterapkan PKS sebagaimana konsepsi politik Islam yang diyakininya—akan
ditawarkan kepada publik sebagai suatu konsepsi baru model pemerintahan
di republik ini.
Demikianlah landasan teologis yang mengikat MS PKS ini. Sebagai badan tertinggi di dalam struktur PKS, MS dipandang sebagai bentuk manifestasi dari perintah al-Qur’an dan Sunnah Nabi untuk menjalankan syura. Anggota-anggota MS memiliki
hak yang sama, karena mereka mewakili seluruh anggota melalui apa yang
disebut dengan pemilihan raya (pemira). Dengan komposisi yang demikian
ini, MS PKS dapat dipersamakan dengan kedudukan parlemen dalam sistem pemerintahan demokratis.
Uraian berikut akan mencoba menelusuri salah satu peran strategis yang dimainkan oleh MS dalam pemerintahan PKS.
Untuk itu pendedahan ini akan diawali dengan melihat undang-undang
partai, dalam hal ini AD, yang menjadi landasan konsensual bagi jalannya
roda pemerintahan PKS. Di sana disebutkan bahwa MS merupakan lembaga
tertinggi partai.[x]
Artinya, posisi tertinggi yang melekat pada partai membawa konsekuensi
logis bagi seluruh jajaran kepemimpinan, kepengurusan ataupun kader yang
berhimpun di dalam partai harus tunduk pada semua keputusan yang
diambil oleh MS ini, tanpa terkecuali. Sebagai lembaga yang melekat
dalam dirinya sebuah wewenang menetapkan, bukan sekedar memberi masukan,
maka keketatapannya itu bersifat mengikat (mulazamah)[xi].
Sebagaimana
pula telah diundangkan dalam AD PKS, MS bertanggung jawab menyusun
tujuan-tujuan Partai, keputusan-keputusan dan rekomendasi Musyawarah
Nasional.[xii]
Dalam perancangan agenda strategis dan ideologis partai tersebut, peran
MS tak tergantikan oleh lembaga manapun dalam struktur kepengurusan PKS. Hak dan tanggung jawab MS yang luas dan besar.
Peran
MS itu mengandaikan bahwa MS tidak perlu lagi pelibatan secara fisik
wakil-wakil pengurus daerah untuk turut serta merancang agenda-agenda
strategis berskala nasional yang tentunya juga berimplikasi pada
kerja-kerja partai dalam lingkup lokal. Saking sentralnya
lembaga tersebut, Munas, yang dalam tradisi partai lain merupakan ajang
tertinggi partai untuk menyelenggarakan proses demokrasi internal dalam
memilih dan menentukan ketua umum partai sekaligus menyusun kerangka
kerja partai untuk periode selanjutnya, bagi PKS Munas hanya sebagai
ajang sosialisasi kebijakan MS.[xiii]
Sebagai
contoh, kita lihat tradisi pemilihan ketua umum partai yang bagi
kebanyakan partai politik di Indonesia merupakan sumber konflik
berkepanjangan ini. Ditegaskan oleh Anis Matta, bahwa pemilihan ketua umum bukanlah hal istimewa dalam PKS.
Justru yang paling ramai adalah sosialisasi kebijakan dan rekomendasi
yang diambil oleh MS dalam Munas. Diktum dalam AD PKS mengeaskan bahwa
tugas MS juga memilih dan menetapkan pimpinan lembaga tinggi partai[xiv].
Bagi PKS, memilih pemimpin partai tidak harus melalui mekanisme
internal yang rumit, penuh hiruk-pikuk, lengkap dengan mahalnya biaya,
dengan model penjaringan dan sosialisasi sampai pada level bawah
terlebih dahulu serta dilaksanakan dalam forum musyawarah anggota yang
melibatkan semua wakil dari daerah. Dalam sejarah PKS memilih pimpinan
partai cukup diselesaikan oleh MS.
Ihwal MS sendiri, dalam
tradisi PKS, pucuk pimpinan MS dipegang oleh sosok yang kokoh secara
ideologis. Ini bisa dilihat dari profile KH. Hilmi Aminuddin, ketua MS
PKS sekarang, yang banyak berjuang—terutama dibelakang layar—untuk
menyokong ideologi partai. Dengan bekal pendidikan yang banyak ditempuh
di Timur Tengah, Hilmi sangat kuat dalam penguasaan literatur keislaman
klasik dan memiliki jaringan yang luas, terutama jaringan IM yang
berpusat di Mesir. Hilmi dikenal sebagai salah saatu ideolog IM
terkemuka di Indonesia dan secara kaffah berjuang untuk menumbuhkan ideologi IM di tanah air.
Karena
diisi oleh para ideolog partai, maka MS begitu ”kharismatis” di dalam
tubuh PKS. Karena alasan itu segala keputusan MS begitu ditaati di dalam
tubuh PKS. Hal lain yang membuat MS begitu diamini oleh semua kader—dan
ini yang unik di dalam tubuh PKS—adalah karena MS dipilih oleh semua
kader, dengan mempertimbangkan jenjang kaderisasi. Mekanisme pemilihan
MS yang melibatkan semua kader partai berbuah manis dengan lahirnya rasa
kepemilikan dan ketaatan bersama.
Sebuah tulisan berjudul Tradisi Pemilihan Pemimpin di PKS (tanpa tanggal dan tahun) menjelaskan bahwa sebagai partai kader,
PKS mengembangkan mekanisme bahwa semua orang yang aktif di partai
adalah kader. Bahkan pada tingkatan pergantian kepemimpinan di partai
ini juga harus melalui mekanisme kader. PKS menganggap bahwa hanya dengan membangun kader seperti ini partai akan memiliki stabilitas pendukung tinggi.
Poin
keenam nilai dasar dalam tulisan itu menjelaskan bahwa kedudukan MS
dalam partai (adalah) sebagai lembaga tertinggi. Karena itu, anggota MS
dipilih melalui mekanisme yang di dalamnya terdapat prasyarat-prasyarat
tertentu sehingga dapat memastikan MS akan diisi oleh kader-kader
berwawasan, profesional, dan representatif sekaligus. Selanjutnya dalam
uraian prosedur pemilihan MS melalui beberapa tahapan, yaitu, tahap pertama,
pemilihan MS dilaksanakan dengan sistem pemira untuk memilih anggota MS
yang berdasarkan tiga jenis representasi; geografis yakni kewilayahan;
representasi tarbawiyah atau tingkat kekaderan; dan terakhir
representasi keahlian (profesionalisme) yakni dipilih karena skill yang
dimilikinya. Representasi ketiga dipilih karena tidak semua representasi
geografis dan kekaderan memenuhi kriteria profesionalitas yang
ditetapkan.
Pemira itu diselenggarakan oleh suatu komite bernama Lajnah Pemira. Pemira ini tidak diikuti oleh semua kader PKS, namun hanya kader inti semata. Dalam jenjang kaderisasi PKS,
terdapat 6 tahapan; Kader Pemula, Kader Muda, Kader Madya, Kader
Dewasa, Kader Ahli, dan Kader Purna. Yang dimaksud sebagai kader ini
adalah kader yang berada dalam posisi kader Madya ke atas, yang tersebar
di berbagai daerah di Indonesia dan bahkan di luar negeri. Sedangkan
yang berhak dipilih sebagai anggota MS adalah mereka yang hanya berada
dalam posisi kader Ahli yang setidaknya berada dalam posisi itu 10 tahun
terakhir. Padahal, seorang kader pemula membutuhkan waktu sekira 10 tahun lamanya untuk bisa meraih posisi kade Ahli.
Hal
menarik ditemukan dalam proses pemilihan anggota MS tersebut. Semua
kader inti memiliki hak untuk memilih nama-nama anggota MS sesuai
kehendak hati mereka, secara bebas, dan tertutup. Namun hak itu juga
dibedakan berdasarkan jenjang kaderisasi. Sebagaimana disebutkan oleh
Cakardi Takariawan bahwa perbedaan hak kader berdasar jenjang kaderisasi
dalam pemilihan anggota MS tersebut tercermin dari suara yang
ditunaikan oleh seorang kader. Suara kader Madya akan terhitung 1 suara,
kader Dewasa dianggap 2 suara, dan kader Ahli 3 suara. Perbedaan
ini didasarkan pada selain lama waktu seorang kader berkiprah dalam
ikatan dakwah juga, sebagaimana tercantum dalam nilai dasar pemilihan
pemimpin poin ketiga, nilai kader itu ditentukan oleh kontribusinya, dan
bukan oleh jabatan strukturalnya.
Dalam
pengisian anggota MS itupun juga melalui dua tahapan, dipilih serta
diangkat. Di dalam AD/ART PKS diterangkan, anggota MS yang dipilih
berjumlah 48 orang ditambah 1 orang anggota tetap, yakni mantan ketua
MS. Selebihnya diangkat. Pengangkatan anggota MS lainnya merupakan hak
dan wewenang MS terpilih. Dalam AD/ART juga disebutkan, pengangkatan
anggota MS yang diangkat paling banyak sejumlah mereka yang dipilih.
Dalam konteks sekarang, Musyawarah
MS I memutuskan mengangkat 41 pakar untuk masuk dalam Majelis Syuro,
sehingga secara keseluruhan Majelis Syuro PKS berjumlah 91 orang.
Tahap kedua
adalah pemilihan 6 orang pemimpin partai oleh MS dalam Munas. Mereka
adalah: 1 orang ketua MS (Muroqib ’Am), 3 wakil (Naib Muroqib ’Am)[xv]
yang masing-masing menduduki Ketua DPP, Ketua MPP, Ketua DSP serta 2
orang lagi menjabat sekjen dan bendahara. 6 orang inilah yang disebut
sebagai Musyawaroh Lembaga Tinggi Partai dan merupakan kepemimpinan
tertinggi di dalam PKS. Enam orang ini pulalah penyusun kabinet DPP (Dewan Pimpinan Pusat), anggota Majelis
Pertimbangan Partai (MPP), dan anggota Dewan Syariah Partai (DSP) yang
akan diumumkan dan disosialisasikan pada saat Munas PKS.
Panduan praktis proses pemilihan MS itu sedikit banyak menggambarkan ”demokrasi internal” di PKS. Melalui gambaran pemilihan pimpinan PKS di
atas setidaknya dari awal sudah dapat diraba bahwa proses ”demokrasi
internal” itu berbeda dengan logika demokrasi keterwakilan secara umum. PKS memiliki
tradisi politik tersendiri yang berlainan dengan sistem politik di
dunia sekarang ini. Demokrasi, teokrasi, oligarki, ataupun sistem lain
bukanlah sebuah sistem yang dijunjung tinggi PKS. Karenanya, PKS tidak
cukup “ambil pusing” dengan segala sistem yang ada itu. Bahkan jika
takaran teoritik terhadap sistem mereka cenderung ke arah oligarkis,
mungkin juga tidak akan mengurangi komitmen para kader PKS untuk tetap
bersetia mengusung sistem syura sebagaimana mereka yakini dan
praktekkan. Mengulangi petuah Hasan Al-Banna, karena demokrasi adalah
sistem politik yang paling dekat dengan Islam, maka ia bisa dimanfaatkan
sebagai proses awal masuk ke dalam kekuasaan dan pada akhirnya nanti
kepemimpinan akan dijalankan sesuai tradisi dan cara jama’ah sendiri.
D. Majelis Syura: Oligarki Partai dan Loyalitas Kader
Satu
hal penting yang patut dikaji dari MS PKS adalah mengenai otoritasnya.
Dari segi kedudukannya dalam struktur partai ini, MS merupakan lembaga
legislatif partai yang menyusun kebijakan-kebijakan politik yang
dianggap strategis. Dalam MS, suara grasroot disampaikan melalui
anggota-anggota Majelis. Meski keanggotannya tidak dianggap mayoritas
mewakili kantong-kantong konstituennya, Majelis memiliki otoritas yang
kuat untuk memutuskan kebijakan partai. Karenanya tidak heran, jika
Majelis ini memiliki kewenangan yang luas ketimbang forum pertemuan
kader, yaitu munas Partai.
Masih
hangat dibenak, proses penentuan pasangan kandidat presiden yang akan
diusung oleh PKS pada tahun 2004 membuat PKS terbelah menjadi dua kubu:
pendukung Amien Rais-Siswono dan Wiranto-S[xvi]holahuddin. Mungkin proses politik ini merupakan salah satu yang
”terpanas” dalam tubuh PKS, karena menyangkut sosok yang akan diamanahi
politik dakwah dari PKS. Meski ”irit” bicara ke media massa, namun
sangat terlihat perseturuan masing-masing kubu. Namun semua itu sirna,
ketika MS PKS menetapkan Amien Rais-Siswono sebagai kandidat presiden
yang akan diusung oleh PKS pada pilpres putaran I. Semua kader merapat,
termasuk barisan Anis Matta yang paling banter mengusung Wiranto dan
Sholahuddin, untuk bersama kembali memperjuangkan kebijakan MS.
Atau misalnya pada
sidang MS di Jakarta pada tahun 2005, yang membahas agenda politik PKS
sekaligus mereview kondisi koalisi PKS dalam pemerintahan SBY-JK. Di
tengah harapan sekitar 60 persen kader untuk menarik 3 anggota kabinet
SBY JK dan mengambil posisi oposisi, MS mengambil keputusan yang hampir-hampir melawan arus dari sebagian besar suara dan keinginan kader di
bawah. Meski sosialisasi akan semua keputusan MS senantiasa dijalani
melalui mekanisme internal partai, namun menjadi menarik untuk diexplore lebih
jauh bahwa keputusan tersebut, sama juga dengan pemilihan presiden
partai, menunjukkan MS memiliki ”kemandirian relatif” dari kader di
bawahnya. Kebijakan MS itu tidak menggambarkan suara kader seutuhnya.
Keinginan sebagian besar kader di bawah akan menjadi sebatas keinginan
jika MS menetapkan keputusan berbeda dengan keinginan mereka. Dan apa
yang terjadi di dalam tubuh PKS? Pernyataan paling pas untuk melukiskan
sikap kader atas keputusan MS tersebut ditunjukkan oleh Ahmad Sumiyanto,
Pjs. Ketua PKSDIY, dengan berujar” keputusan itu agak mengecewakan, tapi sebagai kader partai saya harus respek dan menaatinya”[xvii].
Sebagai
perwujudan lembaga tertinggi partai, MS memiliki kewenangan besar untuk
menetapkan keputusan-keputusan, dan selanjutnya keputusan itu bersifat
mengikat (mulazamah) kepada seluruh kader tanpa terkecuali.
Meminjam bahasa Anis Matta, sebelum digelar atau saat diselenggarakannya
rapat MS memang terbuka kemungkinan untuk bersilang pendapat mengenai
suatu hal, namun jika ketetatan oleh MS sudah diambil, maka semuanya akan tuntuk dan patuh pada keputusan tersebut.[xviii]
Artinya sebagai manusia biasa, kekecewaan Sumiyanto terhadap keputusan
MS itu memiliki sandaran ontologisnya, meski sekali lagi, kekecewaan itu
tidak bisa melampaui tembok normatif hirarki jama’ah dan aturan main
organisasi PKS, yakni taat.
Mendasarkan
pada satu ayat termasyhur dalam Al-Qur’an, hai orang-orang berimana,
taatilah Allah dan ta’atilah Rosulnya, dan ulil amri di antara kamu
(Q.S. An-Nisaa’:49), Abu Ridho mengungkapkan bahwa ketaatan (tha’ah)
kepada pemerintah dijadikan salah satu prinsip dalam sistem Islam.
Dalam kehidupan politik kaum muslimin, ulul amri atau mereka yang
memerintah, merupakan pihak yang mesti ditaati. Oleh sebab itu, bagi
PKS, ketaatan merupakan pilar pemerintahan Islam dan sekaligus menjadi
tiang pancang kehidupan politik dalam masyarakat muslim. Meski demikian,
kewajiban taat bersifat tidak mutlak, tergantung sejauh mana
pemerintahan tersebut menerapkan syariah Islam dan menegakkan keadilan
serta tidak memerintahkan maksiat kepada rakyatnya.
Tentu saja ketaatan menyangkut loyalitas, imbuh Abu Ridho. Sebagaimana ketaatan kepada ulul amri tidak mutlak, maka loyalitas kepadanya juga tidak mutlak (Al-Maidah: 55-56).[xix]
Di antara batasan dan syarat taat, adalah: pertama, pemimpin tersebut
harus merealisasikan syariat Islam. Kedua, pemimpin tersebut tidak
menyuruh manusia berbuat maksiat, ketiga, pemimpin tersebut juga
menegakkan keadilan, dan keempat, sesuatu yang diperintahkan mampu
dilaksanakan oleh orang yang akan menanggung perintah tersebut.[xx]
Ketaatan,
sebagai salah satu pondasi pemerintahan Islam, dipegang oleh semua
kader partai dakwah ini, tanpa terkecuali, karena ketaatan merupakan hal
prinsipil dan sangat dibutuhkan gerakan dakwah. Setiap gerakan dakwah
tidak mungkin sampai pada tujuan kecuali jika unsur ketaaatan sudah
sampai pada derajat kesempurnaannya. Ketaatan yang prima para kader
dakwah tersebut menemukan sandaran dogmatiknya pada ajaran Hasan
Al-Banna yang menjadikan taat sebagai salah satu rukun atau pilar dari
rukun baiat yang terdiri dari 10 poin. Ia berkata: “Sistem dakwah dalam
marhalah takwin (fase pembentukan) adalah sufi murni pada sisi ruhiyah
dan militer murni pada sisi amaliyah. Dan syi’ar dari dua sisi tersebut
adalah ‘perintah dan taat’ tanpa bimbang, mundur, ragu, dan berat. Dan
dakwah dalam marhalah-marhalah ini bersifat khusus yang tidak dapat
berhubungan kecuali orang-orang yang sudah menyiapkan segala sesuatunya
secara benar untuk menanggung beban jihad yang panjang jaraknya dan
banyak pula rintangannya. Dan langkah awal dari kesiapan ini adalah
sikap kesempurnaan (kamalut tha’ah ).[xxi]
Berangkat
dari keyakinan yang telah diinjeksikan dan ditradisikan sejak awal
semua kader menjalani liqo’ dulunya, sangat wajar jika ketaatan itu
mengkristal dan termekanisasi dalam setiap praktek kehidupan setiap
kader PKS. Bahkan ketika putusan pemimpin mereka bertentangan dengan
logika kader sekalipun, ketaatan tetap menjadi kewajiban yang harus
dijalankan. Fenomena semacam ini juga diatur dalam ketetapan taat dalam
tradisi gerakan dakwah ini, yakni” Menyambut seruan dengan segera
walaupun bertetangan dengan pendapatnya[xxii].
Oleh karenanya sangat wajar rasanya menyaksikan semua kader partai
senantiasa tunduk pada apapun putusan yang ditetapkan oleh pemimpinnya,
meskipun kebijakan itu bertentangan dengan logika kader. Dengan
memeriksa akar teologis ketaatan itu, maka semua orang tidak akan kaget
lagi jika ada ungkapan sebagaimana lontaran Sumiyanto”, Saya kecewa tapi
sebagai kader harus taat”.
Salah
satu rujukan ketaatan gerakan dakwah adalah ucapan Maududi: ”dilihat
dari arah agama yang murni, maka ketaatan anggota jama’ah kepada
pemimpinnya merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rosulnya.[xxiii] Dalam kasus penerusan koalisi dengan SBY-JK, memang tidak diketahui berapa persen warga PKS yang
menyatakan kekecewaannya. Namun itu tidak akan mengubah keputusan yang
telah ditetapkan oleh MS tersebut, sampai evaluasi tahunan terhadap
kabinet SBY-JK diselenggarakan lagi.
E. Penutup.
Di
tubuh PKS, MS bukanlah semata sebuah lembaga yang dibentuk karena
secara organisatoris dibutuhkan oleh partai. Sebagai lembaga yang
berperan sebagai wakil dari semua kader partai, MS merupakan ajang
musyawarah internal untuk membahas kebutuhan kebijakan strategis partai.
Di dalamnya terdapat kader-kader inti pilihan yang secara personal
merepresentasikan seluruh kader yang dimiliki partai. Eksistensi MS
tidak bisa dilepaskan dari sandaran teologis dan epistemologisnya ihwal
konsepsi demokrasi versi PKS. MS merupakan cerminan dari sebuah sistem syura yang
diyakini PKS sebagai ajang kebebasan individu dalam penyampaian
pendapat untuk mencari titik temu dari suatu masalah yang dibincangkan,
sekaligus sebagai penjagaan terhadap keutuhan jama’ah.
Secara
lebih luas partisipasi ini juga memiliki konsekuensi keberdayaan warga
untuk turut serta memberikan kontribusi dalam pengambilan kebijakan,
mengontrol jalannya kekuasaan pemerintahan untuk menghindarkan
pemerintahan dari kekuasaan yang bersifat personal, otoriter. Dari
partisipasi warga itu lantas muncul kesepakan adanya sebuah perwakilan kader yang akan mengurus dan menjalankan amanah kekuasaan dalam bentuk majelis syura, ahlul hall wal aqd,
atau majelis rakyat. Kesepakatan ini disebut baiat. Karena itu, rakyat
memiliki hak untuk memberi syarat-syarat kesepakatan yang mereka lihat
sejalan dengan kemaslahatan umum, karena penguasa adalah wakil rakyat.
Rakyat memiliki hak menetapkan batas-batas perwakilannya dengan waktu
tertentu atau menarik perwakilannya kembali jika wakilnya buruk dalam
menunaikan amanahnya.
Sistem Syura menjadi prinsip partai titisan gerakan Tarbiyah ini dalam menyelenggarakan demokrasi ala Islam di dalam tubuh PKS, dan tentu sebuah tawaran penyelengaraan pemerintahan dalam sebuah negara[xxiv],
termasuk di dalamnya mengenai pengambilan kebijakan dan pemilihan
pemimpin. Melalui pelepasan demokrasi ”sekuler-Barat” dari sistem Syura
dan dengan memegang teguh ajaran Islam maka PKS mencoba menghindari
aneka keburukan yang menyertai demokrasi.
Jika
sistem politik Islam, sebagaimana dijabarkan Abu Ridho di atas enggan
disamakan dengan demokrasi dan mereka mengajukan sistem Syura sebagai
cerminan pemerintahan dalam sebuah negara Islam, maka tidak salah jika
dalam struktur PKS terdapat MS untuk menjadi pilar utama menggantikan
sistem parlementariat dari demokrasi kini dan kelak. MS dalam tubuh PKS
setidaknya menjadi test case bagaimana sebuah kepemimpinan Islam bekerja dan melaksanakan amanah rakyat, dalam hal ini para kader PKS.
Sebuah
kesimpulan telah ditetapkan oleh PKS tentang respon mereka terhadap
demokrasi, bahwa sesungguhnya demokrasi dibutuhkan pada ruang tertentu,
namun sekaligus ia tidak tidak berguna di level yang lain. Termasuk di
antaranya adalah corak rezim MS di hadapan seluruh pengurus partai dan
kader. Karena alasan itu, maka elit dan warga PKS tidak terlalu
menghiraukan apakah MS bersifat demokratis apa tidak. Yang jelas,
”demokrasi” ala PKS harus mampu mempertebal keta’atan kader terhadap para pemimpinnya.
Referensi:
Al-Wa’iy, Taufiq Yusuf, 2003, Pemikiran Politik Kontemporer Al-Ikhwan Al-Muslimun, Studi Analisis, Observatif dan Dokumentatif, Era Intermedia
Anggaran Dasar Partai Keadilan Sejahtera
Ensiklopedi Islam, 2003, Jilid 5, Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve
Haikal, Husein, 1962, Hayat Muhammad, Kairo.
Jawa Pos, Radar Yogyakarta, 28 November 2005.
Matta, Anis, 2003, Menikmati Demokrasi: Strategi Dakwah Meraih Kemenangan, Jakarta: Pustaka Saksi
Maududi, Abul A’la, 1997, Islamic Law and Constitution, Lahore; Islamic Publication Ltd
Rathomy, Arief Ihsan, 2005, Melacak Akar Pemikiran Gerakan Islam di Indonesia Mengenai Demokrasi: Perbandingan terhadap Partai Keadilan Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia, Skripsi Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, tidak diterbitkan.
Ridho, Abu, 2004 , Negara dan Cita-cita Politik, Jakarta: Al-Syaamil
Santoso, Iman, 2005, Keniscayaan Taat Dalam Harakah Islam, Saksi, no. 17 Tahun VII 25 Mei.
Syihabuddin, Muhammad dan Iba Syatiba, 2006, Kapasitas Kelembagaan Partai Keadilan Sejahtera, laporan penelitian SR-Ins, tidak diterbitkan