assalamualaikum,wr.wb

Keluarlah darimenara gading. Rasakan penderitaan para pesakitan yang terdzalimi
hingga menghabiskan umur, uang dan kebahagiaannya. Antasari, salah
satunya ). Keburu bangkrut negeri ini kalau orang2 terbaik malah
dipenjarakan orang2 jahat.

Laman

Kamis, 13 Oktober 2011

Assalamualaikum,wr.wb

Parpol Islam Pascapilpres 2009

Oleh: Syamsul Arifin
''Masa depan politik Islam sudah habis. Partai Islam pun tak efektif lagi. Jadi, bubarkan saja partai Islam, lalu bikin partai Islam satu saja. Percuma saja, meskipun berlambang Kakbah, bulan bintang, politik Islam kian pragmatis.''

---

KUTIPAN tersebut berasal dari KH Cholil Ridwan, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang disampaikan kepada Sabili (No 26 Tahun XVI 16 Juli 2009/23 Rajab 1430), majalah Islam bertiras lumayan besar. Nyata sekali kekecewaan KH Cholil Ridwan terhadap partai politik (parpol) Islam.

Tentu masih banyak dari kalangan Islam lainnya yang memiliki perasaan seperti KH Cholil Ridwan. Perasaan kecewa yang kemudian berlanjut pada gugatan merupakan hal yang wajar mengingat harapan yang demikian besar terhadap parpol Islam.

Parpol Islam, setidaknya di mata KH Cholil Ridwan, tidak cukup hanya dilihat pada identitas formalnya seperti penggunaan lambang yang dipandang sakral oleh masyarakat Islam. Kakbah, misalnya. Lebih dari sekadar persoalan simbolis, parpol Islam di antaranya sangat diharapkan menjadi wadah aspirasi bagi masyarakat Islam yang berjumlah hampir 90 persen di antara keseluruhan populasi di Indonesia.

Di mata KH Cholil Ridwan, harapan itu bisa diwujudkan jika nanti masyarakat Islam hanya memiliki satu parpol sebagai fusi dari parpol-parpol Islam yang ada sekarang ini. Harapan KH Cholil Ridwan tersebut akan berbenturan dengan fragmentasi masyarakat Islam. Jadi, wacana satu parpol Islam merupakan mimpi yang sulit menjadi kenyataan.

Mengikuti pandangan klasik bahwa banyak parpol merupakan kelanjutan belaka dari banyaknya preferensi masyarakat seperti ideologi, budaya, dan keagamaan, wajar pula jika masyarakat Islam memiliki beragam parpol. Dengan demikian, PKS, PAN, PPP, dan PKB merupakan kelanjutan alamiah dari perbedaan pada level preferensi keagamaan masyarakat Islam.

Yang terpenting bagaimana tiap-tiap parpol Islam tersebut pintar melakukan pencitraan atau yang biasa disebut dengan positioning di hadapan masyarakat Islam yang sudah terfragmentasi. Contohnya, PKB harus bisa meyakinkan kalangan nahdliyin dari mana PKB berasal.

Sayangnya, hasil pemilu legislatif pada 9 April lalu justru menunjukkan keadaan sebaliknya. Secara kasatmata, positioning parpol Islam tidak lagi istimewa, bahkan di hadapan pemilih tradisional sendiri. PAN, PPP, dan PKB masih tergolong beruntung karena mampu meloloskan puluhan wakilnya menduduki kursi DPR, kendati tidak sebanding dengan energi yang dikeluarkan.

Yang mengenaskan adalah PBR dan PBB. Pada Pemilu 2004, PBR masih memiliki wakil di DPR. Tapi, pada pemilu legislatif tahun ini, tidak ada satu pun wakil dari PBR maupun PBB. Sebab, perolehan suara mereka di tingkat nasional tidak memenuhi ketentuan parliamentary threshold yang hanya 2,5 persen.

Penyusutan tersebut pada gilirannya menurunkan daya tawar parpol Islam saat pelaksanaan pilpres 8 Juli lalu. Posisi parpol Islam terlihat semakin lemah setelah konflik internal menyeruak ke permukaan seperti yang dialami PAN. Konflik internal parpol berlambang matahari itu jelas tidak bisa dilepaskan dari perolehan kursi di DPR yang jauh dari memuaskan.

Padahal, PAN telah berusaha melakukan pencitraan sebagai partai yang semakin inklusif, tidak seperti pada era kepemimpinan Amien Rais yang dikesankan terlalu condong ke Muhammadiyah.

Kian tipisnya suara parpol Islam, ditambah konflik internal, mengakibatkan posisi parpol Islam hanya mampu menjadi partai lapis kedua (second party) -bahkan ada yang sekadar menjadi penggembira- dalam peta koalisi pilpres lalu. Ibarat gerbong kereta api, parpol Islam hanya menempati kelas ekonomi, bukan kelas bisnis, apalagi VIP.

Kondisi parpol Islam yang terpuruk pada pemilu legislatif kian diperparah oleh integritas moral elitenya. Sebagai parpol Islam, seharusnya mereka dapat mencitrakan sebagai parpol dengan berkarakter moral yang kuat. Tapi, sejak koalisi antarparpol baru sebatas wacana, hingga tercapainya kesepakatan seperti tergambar pada komposisi parpol pendukung tiga pasangan capres-cawapres yang ikut serta pada pilpres 8 Juli lalu, karakter moral parpol Islam tidak jauh berbeda dari parpol yang secara kategoris bisa disebut sekuler.

Tentu naif kalau pendirian parpol, tidak terkecuali parpol Islam, tidak dimaksudkan sebagai instrumen meraih kekuasaan. Hanya, pertanyaannya, bagaimana kekuasaan tersebut dapat diraih?

Pada konteks ini, sikap elite parpol Islam patut dikritik karena tidak mampu mengelola ''perebutan'' kekuasaan secara lebih elegan. Ada elite parpol Islam yang marah-marah seperti ingin menarik diri dari koalisi setelah jagoannya tidak digandeng sebagai cawapres. Bahkan, elite tersebut tidak segan-segan melakukan politisasi simbol-simbol agama dengan membuat pencitraan, untuk tidak mengatakan menghakimi, bahwa salah seorang cawapres tidak mencerminkan aspirasi umat Islam.

Sementara itu, ada juga elite parpol Islam yang membiarkan dirinya larut dalam kepribadian terbelah (split personality). Di satu sisi, partainya didorong ke salah satu pasangan capres-cawapres, sedangkan di sisi lain kadernya dibiarkan merapat ke pasangan lain.

Bagaimana fenomena itu bisa dijelaskan? Hanya ada satu penjelasan. Elite parpol Islam telah sedemikian jauh larut dalam aktivitas politik pragmatis, artifisial, serta tidak berkarakter. Daripada hanya menjadi parpol lapis kedua, mengapa elite parpol Islam tidak mengusahakan suatu koalisi yang berbasis Islam?

Inilah pertanyaan yang terus mengemuka, kendati pilpres baru saja usai. Masyarakat Islam akar rumput, tampaknya, tidak ikhlas jika jumlah suara dari seluruh parpol Islam pada pemilu legislatif yang mencapai hampir 30 persen terbuang sia-sia.

Bagaimana hal itu bisa terwujud? Rekapitalisasi merupakan jawabannya. Dengan rekapitalisasi, parpol Islam perlu memperkuat kembali modal yang dimiliki. Salah satu modal yang kian tergerus pada banyak parpol Islam seperti yang tergambar pada perilaku elitenya adalah modal sosial (social capital). Yakni, kesediaan bekerja sama dan membentuk jaringan antarelite dan parpol berdasar prinsip saling percaya (trust). (*)

*) Syamsul Arifin, Guru besar dan wakil direktur bidang akademik PPs Unmuh Malang

Tidak ada komentar: