assalamualaikum,wr.wb

Keluarlah darimenara gading. Rasakan penderitaan para pesakitan yang terdzalimi
hingga menghabiskan umur, uang dan kebahagiaannya. Antasari, salah
satunya ). Keburu bangkrut negeri ini kalau orang2 terbaik malah
dipenjarakan orang2 jahat.

Laman

Rabu, 20 Juni 2012

DEMOKRASI DAN POLITIK

Muhammad Syihabuddin
A. Pendahuluan
Salah satu persoalan yang menarik untuk ditela’ah dari PKS adalah Majelis Syura (MS). Hal ini karena MS adalah jantung partai: lembaga tertinggi dan lembaga sentral, dalam policy decition di tubuh PKS. Sebagai lembaga yang paling otoritatif dalam pengambilan kebijakan partai dakwah ini maka tidak ada lembaga atau kader partai di bawahnya yang tidak tunduk dan taat atas segala keputusan yang ditetapkan MS.
Sejauh ini belum ada sebentuk konflik atau ketidakpuasan berkepanjangan mengemuka dari dalam PKS akibat kebijakan MS. Sebagai ilustrasi, tidak ada geliat perlawanan dari personal kader atau suatu DPD PKS, yang berhasil ditangkap media, terhadap MS PKS karena telah memilih Tifatul Sembiring sebagai presiden partai ini, di saat hampir seluruh partai politik dirundung pertikaian internal sebagai buntut adu kepentingan saat pemilihan ketua umum.
Tulisan ini akan mengelaborasi secara mendalam MS dalam struktur PKS, sebagai partai Islam Modern. Lebih jauh, tulisan ini akan melihat perajutan nalar syura dengan nalar demokrasi “sekuler” sehingga melahirkan suatu demokrasi ala PKS yang justru mampu menumbuhkan loyalitas dan militansi para aktivis dan kader PKS.
B. Konsep Syura, Islam dan Demokrasi Menurut PKS
Konsepsi Syura dalam wacana politik Islam selalu saja menarik untuk dibincangkan, terutama sekali jika hal itu ditarik ke suatu persandingan konsep Syura dengan demokrasi. Secara etimologis, Syura berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi. Majelis Syura berarti juga majelis permusyawaratan atau badan legislatif. Istilah Syura berasal dari kata kerja syawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata kerja syawara adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara (berunding, saling bertukar pendapat), syawir (meminta pendapat, musyawarah), dan mutasyir (meminta pendapat orang lain). Syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara.[i]
Dalam Islam, syura diletakkan sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, politik dan pemerintahan. Syura merupakan suatu sarana dan cara memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang sifatnya mengikat, baik dalam bentuk peraturan hukum maupun kebijakan politik. Setiap orang yang ikut bermusyawarah akan berusaha menyatakan pendapat yang baik, sehingga diperoleh pendapat yang dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Namun demikian ihwal pelaksanaan Syura, tidak ada nash Al-Qur’an yang memberikan paparan detail tentangnya. Nabi Muhammad SAW—yang telah melembagakan dan membudayakan syura karena ia gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya—tidak mempunyai pola dan bentuk tertentu. Karena itu, bentuk pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan zaman umat Islam.[ii]
Musyawarah secara metodologis diartikan pula seba­gai forum di mana setiap persoalan yang menyangkut kepentingan umum atau rakyat dicari solusinya dan diper­timbangkan berdasarkan alasan-alasan yang rasional. Se­mentara itu, hasil musyawarah bisa saja berupa kese­pakatan bersama (konsensus atau ijma’), dan bisa juga didasarkan pada suara mayoritas, sebagaimana pernah dilakukan Nabi dalam musyawarah menghadapi musuh Quraisy Makkah. Dalam musyawarah tersebut, Nabi me­ngambil suara terbanyak dengan keputusan mengha­dapi musuh di luar kota Madinah yaitu bukit Uhud.[iii]
Konseptualisasi syura dalam perkembangannya memberikan kontribusi bagi pengkayaan metodologi dalam proses pengambilan keputusan secara mufakat dalam politik Islam. Namun, konsep syura juga memiliki kontribusi besar bagi dialog antara politik Islam dengan demokrasi. Dari sini muncul kesan, musyawarah atau juga syura adalah bagian dari konsep penting yang dilahirkan dari peradaban Islam, dan karenanya masyarakat Islam tidak perlu mempertimbangkan ”produk” dari luar Islam, apalagi memakainya. Produk ”Barat” yang selalu disejajarkan dengan syura dalam Islam adalah demokrasi.
Demokrasi—secara epistemologis dan, bahkan, sebab ia lahir di luar teritori negara Arab semata—seringkali diklaim sebagai produk ”kafir” dan karenanya harus ditolak, sepenuhnya ataupun sebagain kecilnya. Wacana inilah yang dalam masyarakat muslim selalu menggelitik, terutama kalangan muslim fundamentalis. Benarkah Islam sesuai (compatible) dengan demokrasi ”sekuler”, dalam sistem politik modern? Jika tidak sesuai sepenuhnya, sejauh mana batasan dalam demokrasi yang sesuai dengan Islam?
Pada dasarnya pemahaman PKS terhadap demokrasi juga didasarkan pada nilai yang sama dengan beberapa kelompok fundamentalis lain, seperti Hizbut Tahrir (HT) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Dua kelompok terakhir berada dalam posisi ”kritis”, bahkan menolak, sistem demokrasi untuk diterapkan dalam dunia Islam. Islam memiliki sistem sendiri yang berbeda dengan sistem demokrasi ”kufur-Barat”.
Abu Ridho, salah satu ideolog PKS, berujar bahwa sistem pemerintahan Islam tidaklah sama dengan sistem pemerintahan lainnya. Sistem Islam itu unik dan hanya bersandar pada aturan-aturan Ilahiah. Nilai-nilai ilahiah intinya adalah pengesaan (tauhid) Allah dengan setulus-tulusnya dan semurni-murninya. Tauhid yang sama sekali bersih dari noda-noda syirik harus menjadi asas tata kehidupan suatu bangsa atau masyarakat. Sistem itu tidak bisa diidentikkan dengan teokrasi sebagaimana dipahami kalangan Kristen dalam sejarah bangsa-bangsa mereka melalui pemerintahan elit-elit agama (teokrasi), karena dalam Islam tidak dikenal sebutan “tokoh agama”.
Sistem ini juga menampik terwujudmya pemerintahan otokrasi, sebab dalam Islam penguasa bukanlah otoritas tunggal. Hal sama juga, pemerintahan Islam bukan pemerintahan rakyat karena ia bukan demokrasi dalam arti sempit. Oleh karena itu, anggapan bahwa sistem pemerintahan Islam sama dengan sistem tertentu dari sistem-sistem lain yang dikenal itu, menurut Abu Ridho[iv] sesungguhnya telah mencemarkan dan menjauhkan dari realitas makna sebenarnya dengan makna sesungguhnya. Kepemimpinan Islam tegak di atas dua pilar; Syariat Islam dan Umat Islam, yang masing-masing keduanya bersifat unik.
Hanya saja, berbeda dengan HTI dan MMI, PKS masih tetap menerima dan memakai mekanisme demokrasi untuk saluran politik formal dalam perebutan kekuasaan, meski dengan batas-batas tertentu. Mendasarkan pada pernyataan Hasan Al-Banna, Anis Matta menyatakan, meskipun demokrasi bukan sistem politik Islam, namun demokrasi merupakan sistem politik modern yang paling dekat dengan Islam. Demokrasi adalah pintu masuk bagi upaya pemberdayaan umat, kemudian melibatkannya dalam pengelolaan negara, dan akhirnya memberinya mandat untuk memimpin dirinya sendiri[v]. Penegasan Hasan Al-Banna dan Abu Ridho itu menunjukkan bahwa penerimaan terhadap demokrasi ini bersifat minimalis dan tidak ajeg. Mereka melakukan pemilahan mendasar pada sisi mana menerima atau membuang demokrasi. Penegakan sistem demokrasi bukanlah tujuan politik PKS. PKS memiliki konsepsi politik tersendiri yang akan diperjuangkan lewat saluran demokrasi: Islam.
Satu alasan lain penerimaan demokrasi oleh PKS dinarasikan secara apik oleh Anis Matta bahwa titik temu politik PKS dengan nilai demokrasi, terutama pada aspek partisipasi. Konsep partisipasi yang ditawarkan sistem demokrasi memiliki relevansi dengan politik Islam, karena menjadikan posisi tawar masyarakat terhadap negara semakin kuat, berbasis pada kebebasan dan hak asasi manusia, sedang keunggulan akal kolektif berbasis pada upaya untuk merubah keragaman menjadi kekuatan, kreatifitas, dan produktifitas. Oleh karena itu, demokrasi memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan masyarakat.[vi] Dengan penerimaan “relatif” pada demokrasi, terutama pada level partisipasi, maka tidak menjadi hambatan syar’i bagi PKS masuk ke dalam gelanggang demokrasi untuk turut menjalani kontestasi politik dengan partai lainnya.
Bagi PKS, dengan mengikuti garis politik Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM), demokrasi itu tidak diharamkan asal tidak bertentangan dengan syari’ah. Kekuasaan itu ditangan umat, tapi kedaulatan ada di tangan Allah sebagai sumber dan tata nilai serta prinsip keberislaman. Berbeda dengan diktum demokrasi sekuler, ”kedaulatan ada di tangan rakyat dan suara rakyat adalah suara Tuhan”, Islam lebih memilih ”kedaulatan ada di Tangan Tuhan, dan Suara Tuhan harus menjadi suara rakyat. Sejauh pemahaman demokrasi semacam itu, maka PKS tidak mengharamkannya[vii].
Jelas sudah, bahwa PKS tidak menampik kehadiran demokrasi, meskipun juga tidak menerima secara membabi buta terhadapnya. Konsepsi pemerintahan Islam yang sedikit banyak “meminjam” demokrasi dalam hal praktek politiknya tetapi tetap menjadikan Tuhan sebagai sumber inspirasi dan landasan filosofisnya, dalam sejarah pemikiran politik memiliki sandaran teoritiknya pada satu konsepsi “teo-demokrasi” ala Maududian. Sistem pemerintahan ini merupakan sistem demokrasi yang bersifat ketuhanan, ketika orang-orang Islam melaksanakan kedaulatan rakyat itu dibatasi oleh kedaulatan Tuhan. Dalam turunan praksisnya, Maududi melukiskan eksekutif di bawah sistem pemerintahan diangkat oleh kehendak umum dari orang-orang Islam yang mempunyai hak untuk memberhentikannya. Segala persoalan administratif dan suatu hal yang secara eksplisit tidak dirumuskan oleh syariat akan diputuskan secara konsensual oleh kalangan Islam. Tiap-tiap muslim yang mampu dan memenuhi syarat untuk memberi pendapat tentang masalah-masalah hukum Islam, berhak menafsirkan hukum Tuhan ketika penafsiran itu dibutuhkan. Dengan kata lain, Islam telah menggariskan hukum dan kedaulatan (al-hakimiyah) itu hanya milik Tuhan semata, meski dalam tataran operasionalnya harus melewati persetujuan seluruh rakyat muslim yang dicerminkan melalui ahlul hall wal aqd atau Majelis Syura.[viii]
Meski tetap menyisakan kritik, pandangan Maududi—sosok yang mendirikan cabang dan publikasi Ikhwan di Pakistan— bagi kalangan Islamis moderat seolah merupakan jalan tengah antara dua kutub yang berseberangan, antara teokrasi dan demokrasi sekuler, dan karenanya pula ingin mendamaikan perdebatan tak berujung ihwal penerimaan demokrasi dalam Islam. Islam tidak phobi dengan demokrasi, karena satu-satunya instrumen untuk meraih kekuasaan secara beradab dan manusiawi dalam sistem politik modern adalah melalui demokrasi (elektoral). Namun, demokrasi dengan sandaran individualisme dan sekularitasnya jelas tidak mendapat tempat dalam rumusan politik Islam, sebagaimana juga diikuti oleh PKS. Sebagai gantinya, ”Majelis Syura” dipilih PKS sebagai mekanisme ”demokrasi-Islam” dalam menjalankan pemerintahan politiknya.
Beberapa prinsip paling penting Syura dalam tradisi al-Ikhwan al-Muslimun yang diikuti oleh PKS adalah:[ix]
  1. Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah dan ummat, dan merupakan pengkhianatan kepada amanah jika telah tampak baginya kebenaran namun ia berpaling darinya dan mengikuti pandangan penguasa dan partai, atau karena pandangan tertentu.
  2. Agar semua anggota majelis berakhlaq Islam dalam Syura, tidak dibolehkan berbagai keputusan dilahirkan dari berbagai manuver, blok, kesepakatan atau perundingan di luar majelis. Mayoritas suara juga tidak selalu menjadi andalan dalam menghasilkan keputusan, melankan akhlaq mulia.
  3. Sesungguhnya Islam tidak menjadikan mayoritas sebagai keputusan, jika terdapat hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunah Nabi. Ini bertentangan dengan sistem demokrasi Barat yang menjadikan suara mayoritas sebagai kebenaran mutlak, hingga menjadikan keputusannya itu sebagai undang-undang tertinggi, dan undang-undang lain yang bertentangan dengannya harus diubah.
  4. Terkait dengan syarat kepemimpinan dan pertanggungjawaban berlandaskan syari’at Islam, anggota majelis haruslah orang-orang terhormat dan mendapatkan tempat sebagai tokoh di tengah masyarakat. Keadilan adalah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang calon atau anggota majelis.
C. Sketsa Majelis Syura PKS
Demokrasi dalam tubuh PKS dilaksanakan melalui MS. Hal ini menegaskan bahwa MS dalam tubuh PKS bukan semata institusi yang lahir di luar jangkuan ideologi partai. MS bukan pula sekedar aplikasi praktis dari sebuah kebutuhan kelembagaan partai. MS tak lain dan tak bukan merupakan manifestasi dari gumpalan ideologi Islam yang tersemat dalam nalar politik PKS. Oleh karena itu kehadirannya pun akan dioptimalisasikan sebagai mekanisme pengganti demokrasi dalam menjalankan pemerintahan di tubuh PKS. Berangkat dari kenyataan tersebut, maka MS setidaknya menjadi model bagi sebuah pemerintahan tertentu yang ingin dicoba kembangkan PKS. Bahkan tidak menutup kemungkinan sistem Syura—dengan segala kekhasannya dan sejauh ini baru diterapkan PKS sebagaimana konsepsi politik Islam yang diyakininya—akan ditawarkan kepada publik sebagai suatu konsepsi baru model pemerintahan di republik ini.
Demikianlah landasan teologis yang mengikat MS PKS ini. Sebagai badan tertinggi di dalam struktur PKS, MS dipandang sebagai bentuk manifestasi dari perintah al-Qur’an dan Sunnah Nabi untuk menjalankan syura. Anggota-anggota MS memiliki hak yang sama, karena mereka mewakili seluruh anggota melalui apa yang disebut dengan pemilihan raya (pemira). Dengan komposisi yang demikian ini, MS PKS dapat dipersamakan dengan kedudukan parlemen dalam sistem pemerintahan demokratis.
Uraian berikut akan mencoba menelusuri salah satu peran strategis yang dimainkan oleh MS dalam pemerintahan PKS. Untuk itu pendedahan ini akan diawali dengan melihat undang-undang partai, dalam hal ini AD, yang menjadi landasan konsensual bagi jalannya roda pemerintahan PKS. Di sana disebutkan bahwa MS merupakan lembaga tertinggi partai.[x] Artinya, posisi tertinggi yang melekat pada partai membawa konsekuensi logis bagi seluruh jajaran kepemimpinan, kepengurusan ataupun kader yang berhimpun di dalam partai harus tunduk pada semua keputusan yang diambil oleh MS ini, tanpa terkecuali. Sebagai lembaga yang melekat dalam dirinya sebuah wewenang menetapkan, bukan sekedar memberi masukan, maka keketatapannya itu bersifat mengikat (mulazamah)[xi].
Sebagaimana pula telah diundangkan dalam AD PKS, MS bertanggung jawab menyusun tujuan-tujuan Partai, keputusan-keputusan dan rekomendasi Musyawarah Nasional.[xii] Dalam perancangan agenda strategis dan ideologis partai tersebut, peran MS tak tergantikan oleh lembaga manapun dalam struktur kepengurusan PKS. Hak dan tanggung jawab MS yang luas dan besar.
Peran MS itu mengandaikan bahwa MS tidak perlu lagi pelibatan secara fisik wakil-wakil pengurus daerah untuk turut serta merancang agenda-agenda strategis berskala nasional yang tentunya juga berimplikasi pada kerja-kerja partai dalam lingkup lokal. Saking sentralnya lembaga tersebut, Munas, yang dalam tradisi partai lain merupakan ajang tertinggi partai untuk menyelenggarakan proses demokrasi internal dalam memilih dan menentukan ketua umum partai sekaligus menyusun kerangka kerja partai untuk periode selanjutnya, bagi PKS Munas hanya sebagai ajang sosialisasi kebijakan MS.[xiii]
Sebagai contoh, kita lihat tradisi pemilihan ketua umum partai yang bagi kebanyakan partai politik di Indonesia merupakan sumber konflik berkepanjangan ini. Ditegaskan oleh Anis Matta, bahwa pemilihan ketua umum bukanlah hal istimewa dalam PKS. Justru yang paling ramai adalah sosialisasi kebijakan dan rekomendasi yang diambil oleh MS dalam Munas. Diktum dalam AD PKS mengeaskan bahwa tugas MS juga memilih dan menetapkan pimpinan lembaga tinggi partai[xiv]. Bagi PKS, memilih pemimpin partai tidak harus melalui mekanisme internal yang rumit, penuh hiruk-pikuk, lengkap dengan mahalnya biaya, dengan model penjaringan dan sosialisasi sampai pada level bawah terlebih dahulu serta dilaksanakan dalam forum musyawarah anggota yang melibatkan semua wakil dari daerah. Dalam sejarah PKS memilih pimpinan partai cukup diselesaikan oleh MS.
Ihwal MS sendiri, dalam tradisi PKS, pucuk pimpinan MS dipegang oleh sosok yang kokoh secara ideologis. Ini bisa dilihat dari profile KH. Hilmi Aminuddin, ketua MS PKS sekarang, yang banyak berjuang—terutama dibelakang layar—untuk menyokong ideologi partai. Dengan bekal pendidikan yang banyak ditempuh di Timur Tengah, Hilmi sangat kuat dalam penguasaan literatur keislaman klasik dan memiliki jaringan yang luas, terutama jaringan IM yang berpusat di Mesir. Hilmi dikenal sebagai salah saatu ideolog IM terkemuka di Indonesia dan secara kaffah berjuang untuk menumbuhkan ideologi IM di tanah air.
Karena diisi oleh para ideolog partai, maka MS begitu ”kharismatis” di dalam tubuh PKS. Karena alasan itu segala keputusan MS begitu ditaati di dalam tubuh PKS. Hal lain yang membuat MS begitu diamini oleh semua kader—dan ini yang unik di dalam tubuh PKS—adalah karena MS dipilih oleh semua kader, dengan mempertimbangkan jenjang kaderisasi. Mekanisme pemilihan MS yang melibatkan semua kader partai berbuah manis dengan lahirnya rasa kepemilikan dan ketaatan bersama.
Sebuah tulisan berjudul Tradisi Pemilihan Pemimpin di PKS (tanpa tanggal dan tahun) menjelaskan bahwa sebagai partai kader, PKS mengembangkan mekanisme bahwa semua orang yang aktif di partai adalah kader. Bahkan pada tingkatan pergantian kepemimpinan di partai ini juga harus melalui mekanisme kader. PKS menganggap bahwa hanya dengan membangun kader seperti ini partai akan memiliki stabilitas pendukung tinggi.
Poin keenam nilai dasar dalam tulisan itu menjelaskan bahwa kedudukan MS dalam partai (adalah) sebagai lembaga tertinggi. Karena itu, anggota MS dipilih melalui mekanisme yang di dalamnya terdapat prasyarat-prasyarat tertentu sehingga dapat memastikan MS akan diisi oleh kader-kader berwawasan, profesional, dan representatif sekaligus. Selanjutnya dalam uraian prosedur pemilihan MS melalui beberapa tahapan, yaitu, tahap pertama, pemilihan MS dilaksanakan dengan sistem pemira untuk memilih anggota MS yang berdasarkan tiga jenis representasi; geografis yakni kewilayahan; representasi tarbawiyah atau tingkat kekaderan; dan terakhir representasi keahlian (profesionalisme) yakni dipilih karena skill yang dimilikinya. Representasi ketiga dipilih karena tidak semua representasi geografis dan kekaderan memenuhi kriteria profesionalitas yang ditetapkan.
Pemira itu diselenggarakan oleh suatu komite bernama Lajnah Pemira. Pemira ini tidak diikuti oleh semua kader PKS, namun hanya kader inti semata. Dalam jenjang kaderisasi PKS, terdapat 6 tahapan; Kader Pemula, Kader Muda, Kader Madya, Kader Dewasa, Kader Ahli, dan Kader Purna. Yang dimaksud sebagai kader ini adalah kader yang berada dalam posisi kader Madya ke atas, yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dan bahkan di luar negeri. Sedangkan yang berhak dipilih sebagai anggota MS adalah mereka yang hanya berada dalam posisi kader Ahli yang setidaknya berada dalam posisi itu 10 tahun terakhir. Padahal, seorang kader pemula membutuhkan waktu sekira 10 tahun lamanya untuk bisa meraih posisi kade Ahli.
Hal menarik ditemukan dalam proses pemilihan anggota MS tersebut. Semua kader inti memiliki hak untuk memilih nama-nama anggota MS sesuai kehendak hati mereka, secara bebas, dan tertutup. Namun hak itu juga dibedakan berdasarkan jenjang kaderisasi. Sebagaimana disebutkan oleh Cakardi Takariawan bahwa perbedaan hak kader berdasar jenjang kaderisasi dalam pemilihan anggota MS tersebut tercermin dari suara yang ditunaikan oleh seorang kader. Suara kader Madya akan terhitung 1 suara, kader Dewasa dianggap 2 suara, dan kader Ahli 3 suara. Perbedaan ini didasarkan pada selain lama waktu seorang kader berkiprah dalam ikatan dakwah juga, sebagaimana tercantum dalam nilai dasar pemilihan pemimpin poin ketiga, nilai kader itu ditentukan oleh kontribusinya, dan bukan oleh jabatan strukturalnya.
Dalam pengisian anggota MS itupun juga melalui dua tahapan, dipilih serta diangkat. Di dalam AD/ART PKS diterangkan, anggota MS yang dipilih berjumlah 48 orang ditambah 1 orang anggota tetap, yakni mantan ketua MS. Selebihnya diangkat. Pengangkatan anggota MS lainnya merupakan hak dan wewenang MS terpilih. Dalam AD/ART juga disebutkan, pengangkatan anggota MS yang diangkat paling banyak sejumlah mereka yang dipilih. Dalam konteks sekarang, Musyawarah MS I memutuskan mengangkat 41 pakar untuk masuk dalam Majelis Syuro, sehingga secara keseluruhan Majelis Syuro PKS berjumlah 91 orang.
Tahap kedua adalah pemilihan 6 orang pemimpin partai oleh MS dalam Munas. Mereka adalah: 1 orang ketua MS (Muroqib ’Am), 3 wakil (Naib Muroqib ’Am)[xv] yang masing-masing menduduki Ketua DPP, Ketua MPP, Ketua DSP serta 2 orang lagi menjabat sekjen dan bendahara. 6 orang inilah yang disebut sebagai Musyawaroh Lembaga Tinggi Partai dan merupakan kepemimpinan tertinggi di dalam PKS. Enam orang ini pulalah penyusun kabinet DPP (Dewan Pimpinan Pusat), anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP), dan anggota Dewan Syariah Partai (DSP) yang akan diumumkan dan disosialisasikan pada saat Munas PKS.
Panduan praktis proses pemilihan MS itu sedikit banyak menggambarkan ”demokrasi internal” di PKS. Melalui gambaran pemilihan pimpinan PKS di atas setidaknya dari awal sudah dapat diraba bahwa proses ”demokrasi internal” itu berbeda dengan logika demokrasi keterwakilan secara umum. PKS memiliki tradisi politik tersendiri yang berlainan dengan sistem politik di dunia sekarang ini. Demokrasi, teokrasi, oligarki, ataupun sistem lain bukanlah sebuah sistem yang dijunjung tinggi PKS. Karenanya, PKS tidak cukup “ambil pusing” dengan segala sistem yang ada itu. Bahkan jika takaran teoritik terhadap sistem mereka cenderung ke arah oligarkis, mungkin juga tidak akan mengurangi komitmen para kader PKS untuk tetap bersetia mengusung sistem syura sebagaimana mereka yakini dan praktekkan. Mengulangi petuah Hasan Al-Banna, karena demokrasi adalah sistem politik yang paling dekat dengan Islam, maka ia bisa dimanfaatkan sebagai proses awal masuk ke dalam kekuasaan dan pada akhirnya nanti kepemimpinan akan dijalankan sesuai tradisi dan cara jama’ah sendiri.
D. Majelis Syura: Oligarki Partai dan Loyalitas Kader
Satu hal penting yang patut dikaji dari MS PKS adalah mengenai otoritasnya. Dari segi kedudukannya dalam struktur partai ini, MS merupakan lembaga legislatif partai yang menyusun kebijakan-kebijakan politik yang dianggap strategis. Dalam MS, suara grasroot disampaikan melalui anggota-anggota Majelis. Meski keanggotannya tidak dianggap mayoritas mewakili kantong-kantong konstituennya, Majelis memiliki otoritas yang kuat untuk memutuskan kebijakan partai. Karenanya tidak heran, jika Majelis ini memiliki kewenangan yang luas ketimbang forum pertemuan kader, yaitu munas Partai.
Masih hangat dibenak, proses penentuan pasangan kandidat presiden yang akan diusung oleh PKS pada tahun 2004 membuat PKS terbelah menjadi dua kubu: pendukung Amien Rais-Siswono dan Wiranto-S[xvi]holahuddin. Mungkin proses politik ini merupakan salah satu yang ”terpanas” dalam tubuh PKS, karena menyangkut sosok yang akan diamanahi politik dakwah dari PKS. Meski ”irit” bicara ke media massa, namun sangat terlihat perseturuan masing-masing kubu. Namun semua itu sirna, ketika MS PKS menetapkan Amien Rais-Siswono sebagai kandidat presiden yang akan diusung oleh PKS pada pilpres putaran I. Semua kader merapat, termasuk barisan Anis Matta yang paling banter mengusung Wiranto dan Sholahuddin, untuk bersama kembali memperjuangkan kebijakan MS.
Atau misalnya pada sidang MS di Jakarta pada tahun 2005, yang membahas agenda politik PKS sekaligus mereview kondisi koalisi PKS dalam pemerintahan SBY-JK. Di tengah harapan sekitar 60 persen kader untuk menarik 3 anggota kabinet SBY JK dan mengambil posisi oposisi, MS mengambil keputusan yang hampir-hampir melawan arus dari sebagian besar suara dan keinginan kader di bawah. Meski sosialisasi akan semua keputusan MS senantiasa dijalani melalui mekanisme internal partai, namun menjadi menarik untuk diexplore lebih jauh bahwa keputusan tersebut, sama juga dengan pemilihan presiden partai, menunjukkan MS memiliki ”kemandirian relatif” dari kader di bawahnya. Kebijakan MS itu tidak menggambarkan suara kader seutuhnya. Keinginan sebagian besar kader di bawah akan menjadi sebatas keinginan jika MS menetapkan keputusan berbeda dengan keinginan mereka. Dan apa yang terjadi di dalam tubuh PKS? Pernyataan paling pas untuk melukiskan sikap kader atas keputusan MS tersebut ditunjukkan oleh Ahmad Sumiyanto, Pjs. Ketua PKSDIY, dengan berujar” keputusan itu agak mengecewakan, tapi sebagai kader partai saya harus respek dan menaatinya”[xvii].
Sebagai perwujudan lembaga tertinggi partai, MS memiliki kewenangan besar untuk menetapkan keputusan-keputusan, dan selanjutnya keputusan itu bersifat mengikat (mulazamah) kepada seluruh kader tanpa terkecuali. Meminjam bahasa Anis Matta, sebelum digelar atau saat diselenggarakannya rapat MS memang terbuka kemungkinan untuk bersilang pendapat mengenai suatu hal, namun jika ketetatan oleh MS sudah diambil, maka semuanya akan tuntuk dan patuh pada keputusan tersebut.[xviii] Artinya sebagai manusia biasa, kekecewaan Sumiyanto terhadap keputusan MS itu memiliki sandaran ontologisnya, meski sekali lagi, kekecewaan itu tidak bisa melampaui tembok normatif hirarki jama’ah dan aturan main organisasi PKS, yakni taat.
Mendasarkan pada satu ayat termasyhur dalam Al-Qur’an, hai orang-orang berimana, taatilah Allah dan ta’atilah Rosulnya, dan ulil amri di antara kamu (Q.S. An-Nisaa’:49), Abu Ridho mengungkapkan bahwa ketaatan (tha’ah) kepada pemerintah dijadikan salah satu prinsip dalam sistem Islam. Dalam kehidupan politik kaum muslimin, ulul amri atau mereka yang memerintah, merupakan pihak yang mesti ditaati. Oleh sebab itu, bagi PKS, ketaatan merupakan pilar pemerintahan Islam dan sekaligus menjadi tiang pancang kehidupan politik dalam masyarakat muslim. Meski demikian, kewajiban taat bersifat tidak mutlak, tergantung sejauh mana pemerintahan tersebut menerapkan syariah Islam dan menegakkan keadilan serta tidak memerintahkan maksiat kepada rakyatnya.
Tentu saja ketaatan menyangkut loyalitas, imbuh Abu Ridho. Sebagaimana ketaatan kepada ulul amri tidak mutlak, maka loyalitas kepadanya juga tidak mutlak (Al-Maidah: 55-56).[xix] Di antara batasan dan syarat taat, adalah: pertama, pemimpin tersebut harus merealisasikan syariat Islam. Kedua, pemimpin tersebut tidak menyuruh manusia berbuat maksiat, ketiga, pemimpin tersebut juga menegakkan keadilan, dan keempat, sesuatu yang diperintahkan mampu dilaksanakan oleh orang yang akan menanggung perintah tersebut.[xx]
Ketaatan, sebagai salah satu pondasi pemerintahan Islam, dipegang oleh semua kader partai dakwah ini, tanpa terkecuali, karena ketaatan merupakan hal prinsipil dan sangat dibutuhkan gerakan dakwah. Setiap gerakan dakwah tidak mungkin sampai pada tujuan kecuali jika unsur ketaaatan sudah sampai pada derajat kesempurnaannya. Ketaatan yang prima para kader dakwah tersebut menemukan sandaran dogmatiknya pada ajaran Hasan Al-Banna yang menjadikan taat sebagai salah satu rukun atau pilar dari rukun baiat yang terdiri dari 10 poin. Ia berkata: “Sistem dakwah dalam marhalah takwin (fase pembentukan) adalah sufi murni pada sisi ruhiyah dan militer murni pada sisi amaliyah. Dan syi’ar dari dua sisi tersebut adalah ‘perintah dan taat’ tanpa bimbang, mundur, ragu, dan berat. Dan dakwah dalam marhalah-marhalah ini bersifat khusus yang tidak dapat berhubungan kecuali orang-orang yang sudah menyiapkan segala sesuatunya secara benar untuk menanggung beban jihad yang panjang jaraknya dan banyak pula rintangannya. Dan langkah awal dari kesiapan ini adalah sikap kesempurnaan (kamalut tha’ah ).[xxi]
Berangkat dari keyakinan yang telah diinjeksikan dan ditradisikan sejak awal semua kader menjalani liqo’ dulunya, sangat wajar jika ketaatan itu mengkristal dan termekanisasi dalam setiap praktek kehidupan setiap kader PKS. Bahkan ketika putusan pemimpin mereka bertentangan dengan logika kader sekalipun, ketaatan tetap menjadi kewajiban yang harus dijalankan. Fenomena semacam ini juga diatur dalam ketetapan taat dalam tradisi gerakan dakwah ini, yakni” Menyambut seruan dengan segera walaupun bertetangan dengan pendapatnya[xxii]. Oleh karenanya sangat wajar rasanya menyaksikan semua kader partai senantiasa tunduk pada apapun putusan yang ditetapkan oleh pemimpinnya, meskipun kebijakan itu bertentangan dengan logika kader. Dengan memeriksa akar teologis ketaatan itu, maka semua orang tidak akan kaget lagi jika ada ungkapan sebagaimana lontaran Sumiyanto”, Saya kecewa tapi sebagai kader harus taat”.
Salah satu rujukan ketaatan gerakan dakwah adalah ucapan Maududi: ”dilihat dari arah agama yang murni, maka ketaatan anggota jama’ah kepada pemimpinnya merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rosulnya.[xxiii] Dalam kasus penerusan koalisi dengan SBY-JK, memang tidak diketahui berapa persen warga PKS yang menyatakan kekecewaannya. Namun itu tidak akan mengubah keputusan yang telah ditetapkan oleh MS tersebut, sampai evaluasi tahunan terhadap kabinet SBY-JK diselenggarakan lagi.
E. Penutup.
Di tubuh PKS, MS bukanlah semata sebuah lembaga yang dibentuk karena secara organisatoris dibutuhkan oleh partai. Sebagai lembaga yang berperan sebagai wakil dari semua kader partai, MS merupakan ajang musyawarah internal untuk membahas kebutuhan kebijakan strategis partai. Di dalamnya terdapat kader-kader inti pilihan yang secara personal merepresentasikan seluruh kader yang dimiliki partai. Eksistensi MS tidak bisa dilepaskan dari sandaran teologis dan epistemologisnya ihwal konsepsi demokrasi versi PKS. MS merupakan cerminan dari sebuah sistem syura yang diyakini PKS sebagai ajang kebebasan individu dalam penyampaian pendapat untuk mencari titik temu dari suatu masalah yang dibincangkan, sekaligus sebagai penjagaan terhadap keutuhan jama’ah.
Secara lebih luas partisipasi ini juga memiliki konsekuensi keberdayaan warga untuk turut serta memberikan kontribusi dalam pengambilan kebijakan, mengontrol jalannya kekuasaan pemerintahan untuk menghindarkan pemerintahan dari kekuasaan yang bersifat personal, otoriter. Dari partisipasi warga itu lantas muncul kesepakan adanya sebuah perwakilan kader yang akan mengurus dan menjalankan amanah kekuasaan dalam bentuk majelis syura, ahlul hall wal aqd, atau majelis rakyat. Kesepakatan ini disebut baiat. Karena itu, rakyat memiliki hak untuk memberi syarat-syarat kesepakatan yang mereka lihat sejalan dengan kemaslahatan umum, karena penguasa adalah wakil rakyat. Rakyat memiliki hak menetapkan batas-batas perwakilannya dengan waktu tertentu atau menarik perwakilannya kembali jika wakilnya buruk dalam menunaikan amanahnya.
Sistem Syura menjadi prinsip partai titisan gerakan Tarbiyah ini dalam menyelenggarakan demokrasi ala Islam di dalam tubuh PKS, dan tentu sebuah tawaran penyelengaraan pemerintahan dalam sebuah negara[xxiv], termasuk di dalamnya mengenai pengambilan kebijakan dan pemilihan pemimpin. Melalui pelepasan demokrasi ”sekuler-Barat” dari sistem Syura dan dengan memegang teguh ajaran Islam maka PKS mencoba menghindari aneka keburukan yang menyertai demokrasi.
Jika sistem politik Islam, sebagaimana dijabarkan Abu Ridho di atas enggan disamakan dengan demokrasi dan mereka mengajukan sistem Syura sebagai cerminan pemerintahan dalam sebuah negara Islam, maka tidak salah jika dalam struktur PKS terdapat MS untuk menjadi pilar utama menggantikan sistem parlementariat dari demokrasi kini dan kelak. MS dalam tubuh PKS setidaknya menjadi test case bagaimana sebuah kepemimpinan Islam bekerja dan melaksanakan amanah rakyat, dalam hal ini para kader PKS.
Sebuah kesimpulan telah ditetapkan oleh PKS tentang respon mereka terhadap demokrasi, bahwa sesungguhnya demokrasi dibutuhkan pada ruang tertentu, namun sekaligus ia tidak tidak berguna di level yang lain. Termasuk di antaranya adalah corak rezim MS di hadapan seluruh pengurus partai dan kader. Karena alasan itu, maka elit dan warga PKS tidak terlalu menghiraukan apakah MS bersifat demokratis apa tidak. Yang jelas, ”demokrasi” ala PKS harus mampu mempertebal keta’atan kader terhadap para pemimpinnya.


Referensi:
Al-Wa’iy, Taufiq Yusuf, 2003, Pemikiran Politik Kontemporer Al-Ikhwan Al-Muslimun, Studi Analisis, Observatif dan Dokumentatif, Era Intermedia
Anggaran Dasar Partai Keadilan Sejahtera
Ensiklopedi Islam, 2003, Jilid 5, Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve
Haikal, Husein, 1962, Hayat Muhammad, Kairo.
Jawa Pos, Radar Yogyakarta, 28 November 2005.
Matta, Anis, 2003, Menikmati Demokrasi: Strategi Dakwah Meraih Kemenangan, Jakarta: Pustaka Saksi
Maududi, Abul A’la, 1997, Islamic Law and Constitution, Lahore; Islamic Publication Ltd
Rathomy, Arief Ihsan, 2005, Melacak Akar Pemikiran Gerakan Islam di Indonesia Mengenai Demokrasi: Perbandingan terhadap Partai Keadilan Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia, Skripsi Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, tidak diterbitkan.
Ridho, Abu, 2004 , Negara dan Cita-cita Politik, Jakarta: Al-Syaamil
Santoso, Iman, 2005, Keniscayaan Taat Dalam Harakah Islam, Saksi, no. 17 Tahun VII 25 Mei.
Syihabuddin, Muhammad dan Iba Syatiba, 2006, Kapasitas Kelembagaan Partai Keadilan Sejahtera, laporan penelitian SR-Ins, tidak diterbitkan

FIQIH DEMOKRASI

Demokrasi Dalam Pandangan Islam

  • Pada awal tahun 2005, artikel dibawah ini sempat beredar luas di dunia maya. Dan apa salahnya jika kita kembali membaca dan menelaahnya. Semoga bermanfaat!
Meski prinsip demokrasi itu lahir di barat dan begitu juga dengan trias politikanya, namun tidak selalu semua unsur dalam demokrasi itu bertentangan dengan ajaran Islam. Bila kita jujur memilahnya, sebenarnya ada beberapa hal yang masih sesuai dengan Islam. Beberapa diantaranya yang dapat kami sebutkan antara lain adalah : ? Prinsip syura (musyawarah) yang tetap ada dalam demokrasi meski bila deadlock diadakan voting. Voting atau pengambilan suara itu sendiri bukannya sama sekali tidak ada dalam syariat Islam. 
Begitu juga dengan sistem pemilihan wakil rakyat yang secara umum memang mirip dengan prinsip ahlus syuro. ? Memberi suara dalam pemilu sama dengan memberi kesaksian atas kelayakan calon. ? Termasuk adanya pembatasan masa jabatan penguasa. ? Sistem pertanggung-jawaban para penguasa itu di hadapan wakil-wakil rakyat.
Adanya banyak partai sama kedudukannya dengan banyak mazhab dalam fiqih. 
Namun memang ada juga yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam, yaitu bila pendapat mayoritas bertentangan dengan hukum Allah. Juga praktek-praktek penipuan, pemalsuan dan penyelewengan para penguasa serta kerjasama mereka dalam kemungkaran bersama-sama dengan wakil rakyat. Dan yang paling penting, tidak adanya ikrar bahwa hukum tertinggi yang digunakan adalah hukum Allah SWT. 
Namun sebagaimana yang terjadi selama ini di dalam dunia perpolitikan, masing penguasa akan mengatasnamakan demokrasi atas pemerintahannya meski pelaksanaannya berbeda-beda atau malah bertentangan dengan doktrin dasar demokrasi itu sendiri. 
Sebagai contoh, dahulu Soekarno menjalankan pemerintahannya dengan gayanya yang menurut lawan politiknya adalah tiran, namun dengan tenangnya dia mengatakan bahwa pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya dengan demokrasi terpimpin. Setelah itu ada Soeharto yang oleh lawan politiknya dikatakan sebagai rezim yang otoriter, namun dia tetap saja mengatakan bahwa pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya demokrasi pancasila. Di belahan dunia lain kita mudah menemukan para tiran rejim lainnya yang nyata-nyata berlaku zali dan memubunuh banyak manusia tapi berteriak-teriak sebagai pahlawan demokrasi. Lalu sebenarnya istilah demokrasi itu apa ? 
Demoktasi : Istilah Yang Sedang Ngetrend
Istilah demokrasi pada hari ini tidak lain hanyalah sebuah komoditas yang sedang ngetrend digunakan oleh para penguasa dunia untuk mendapatkan kesan bahwa pemerintahannya itu baik dan legitimate. Padahal kalau mau jujur, pada kenyataannya hampir-hampir tidak ada negara yang benar-benar demokratis sesuai dengan doktrin dasar dari demokrasi itu sendiri. 
Lalu apa salahnya ditengah ephoria demokrasi dari masyarakat dunia itu, umat Islam pun mengatakan bahwa pemerintahan mereka pun demokratis, tentu demokrasi yang dimaksud sesuai dengan maunya umat Islam itu sendiri. Kasusnya sama saja dengan istilah reformasi di Indoensia. Hampir semua orang termasuk mereka yang dulunya bergelimang darah rakyat yang dibunuhnya, sama-sama berteriak reformasi. Bahkan dari sekian lusin partai di Indonesia ini, tidak ada satu pun yang tidak berteriak reformasi. 
Jadi reformasi itu tidak lain hanyalah istilah yang laku dipasaran meski -bisa jadi- tak ada satu pun yang menjalankan prinsipnya. Maka tidak ada salahnya pula bila pada kasus-kasus tertentu, para ulama dan tokoh-tokoh Islam melakukan analisa tentang pemanfaatan dan pengunaan istilah demokrasi yang ada di negara masing-masing. Lalu mereka pun melakukan evaluasi dan pembahasan mendalam tentang kemungkinan memanfaatkan sistem yang ada ini sebagai peluang menyisipkan dan menjalankan syariat Islam. 
Hal itu mengingat bahwa untuk langsung mengharapkan terwujudnya khilafah Islamiyah dengan menggunakan istilah-istilah baku dari syariat Islam mungkin masih banyak yang merasa risih. Begitu juga untuk mengatakan bahwa ini adalah negara Islam yang tujuannya untuk membentuk khilafah, bukanlah sesuatu yang dengan mudah terlaksana. Jadi tidak mengapa kita sementara waktu meminjam istilah-istilah yang telanjur lebih akrab di telinga masyarakat awam, asal di dalam pelaksanaannya tetap mengacu kepada aturan dan koridor syariat Islam. 
Ulama Menggunakan Istilah Demokrasi
Bahkan sebagian dari ulama pun tidak ragu-ragu menggunakan istilah demokrasi, seperti Ustaz Abbas Al-`Aqqad yang menulis buku ‘Ad-Dimokratiyah fil Islam’. Begitu juga dengan ustaz Khalid Muhammad Khalid yang malah terang-terangan mengatakan bahwa demokrasi itu tidak lain adalah Islam itu sendiri. 
Semua ini tidak lain merupakan bagian dari langkah-langkah kongkrit menuju terbentuknya khilafah Islamiyah. Karena untuk tiba-tiba melahirkan khilafah, tentu bukan perkara mudah. Paling tidak, dibutuhkan sekian banyak proses mulai dari penyiapan konsep, penyadaran umat, pola pergerakan dan yang paling penting adalah munculnya orang-orang yang punya wawasan dan ekspert di bidang ketata-negaraan, sistem pemerintahan dan mengerti dunia perpolitikan. 
Dengan menguasai sebuah parlemen di suatu negara yang mayoritas muslim, paling tidak masih ada peluang untuk ‘mengislamisasi’ wilayah kepemimpinan dan mengambil alihnya dari kelompok anti Islam. Dan kalau untuk itu diperlukan sebuah kendaraan dalam bentuk partai politk, juga tidak masalah, asal partai itu memang tujuannya untuk memperjuangkan hukum Islam dan berbasis masyarakat Islam. Partai harus ini menawarkan konsep hukum dan undang-undang Islam yang selama ini sangat didambakan oleh mayoritas pemeluk Islam. 
Dan di atas kertas, hampir dapat dipastikan bisa dimenangkan oleh umat Islam karena mereka mayoritas. Dan bila kursi itu bisa diraih, paling tidak, secara peraturan dan asas dasar sistem demokrasi, yang mayoritas adalah yang berhak menentukan hukum dan pemerintahan. 
Umat Islam sebenarnya mayoritas dan seharusnya adalah kelompok yang paling berhak untuk berkuasa untuk menentukan hukum yang berlaku dan memilih eksekutif (pemerintahan). Namun sayangnya, kenyataan seperti itu tidak pernah disadari oleh umat Islam sendiri. 
Tanpa adanya unsur umat Islam dalam parlemen, yang terjadi justru di negeri mayoritas Islam, umat Islammnya tidak bisa hidup dengan baik. Karena selalu dipimpin oleh penguasa zalim anti Islam. Mereka selalu menjadi penguasa dan umat Islam selalu jadi mangsa. Kesalahannya antara lain karena persepsi sebagian muslimin bahwa partai politik dan pemilu itu bid`ah. 
Sehingga yang terjadi, umat Islam justru ikut memilih dan memberikan suara kepada partai-partai sekuler dan anti Islam. Karena itu sebelum mengatakan mendirikan partai Islam dan masuk parlemen untuk memperjuangkan hukum Islam itu bid`ah, seharusnya dikeluarkan dulu fatwa yang membid`ahkan orang Islam bila memberikan suara kepada partai non Islam. Atau sekalian fatwa yang membid`ahkan orang Islam bila hidup di negeri non-Islam. 
Partai Islam dan Parlemen adalah peluang Dakwah 
Karena itu peluang untuk merebut kursi di parlemen adalah peluang yang penting sebagai salah satu jalan untuk menjadikan hukum Islam diakui dan terlaksana secara resmi dan sah. Dengan itu, umat Islam punya peluang untuk menegakkan syariat Islam di negeri sendiri dan membentuk pemerintahan Islam yang iltizam dengan Al-Quran dan Sunnah. Tentu saja jalan ke parlemen bukan satu-satunya jalan untuk menegakkan Islam, karena politik yang berkembang saat ini memang penuh tipu daya. 
Lihatlah yang terjadi di AlJazair, ketika partai Islam FIS memenangkan pemilu, tiba-tiba tentara mengambil alih kekuasaan. Tentu hal ini menyakitkan, tetapi bukan berarti tidak perlu adanya partai politik Islam dan pentingnya menguasai parlemen. 
Yang perlu adalah melakukan kajian mendalam tentang taktik dan siasat di masa modern ini bagaimana agar kekuasaan itu bisa diisi dengan orang-orang yang shalih dan multazim dengan Islam. Agar hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Selain itu dakwah lewat parlemen harus diimbangi dengan dakwah lewat jalur lainnya, seperti pembinaan masyarakat, pengkaderan para teknokrat dan ahli di bidang masing-masing, membangun SDM serta menyiapkan kekuatan ekonomi. 
Semua itu adalah jalan dan peluang untuk tegaknya Islam, bukan sekedar berbid`ah ria.

Selasa, 20 Maret 2012

Taujih Anis Matta (Rakornas Wilda Sumatera di Jakarta, 6 Maret 2012)

Ikhwah sekalian. Saya kira sepanjang hari ini antum semuanya pasti sudah mendapatkan hal-hal yang kita perlukan untuk menang tahun 2014. Targetnya sudah jelas, masuk 3 besar. Goal map kesana juga sudah jelas. Dimulai dari program tahun ini. Dan tahun ini seluruhnya kita sebut sebagai Tahun Mobilisasi, Tahun Ekspansi. Dari seluruh nama itu saja, semua yang ingin kita ketahui, di atas kertas semuanya sudah jelas. Dan kalau itu semuanya sudah jelas, sebenarnya yang kita perlukan tinggal melangkah saja. Cuma jarak antara melangkah, setelah kita mengambil keputusan, itu kadang-kadang masih terbentang jarak yang jauh di antaranya. Jarak antara sebuah keputusan dengan implementasi seringkali agak panjang disebabkan oleh jembatan yang ada di dekatnya seringkali tidak ada.

Dan jembatan itu namanya ‘azam atau tekad. Makanya Allah SWT mengatakan,


Para ulama kita mengatakan bahwa yang dimaksud faidzaa ‘azamta: faidzaa tasyaawarta. Kalau kalian sudah bersyuro, fatawakkal ‘alallah. Jadi ‘azam disini maksudnya adalah syuro. Kenapa ‘azam itu disebut syuro? Karena syuro itu melahirkan qana’ah fikriyah dan qana’ah qalbiyah. Dan itu semuanya adalah syarat-syarat yang kita perlukan untuk menemukan tekad. Tekad itu sendiri bagi para ahli psikologi disebut sebagai energi. Jadi yang punya tekad, itu ya punya energi. Karena itu sumber energi kita adalah syuro yang baru saja kita lakukan ini.

Lalu Allah mengatakan fatawakkal ‘alallah, bertawakkallah kepada Allah. Para ulama kita mengatakan, yang dimaksud dengan tawakkal disini adalah ‘azam. Jadi kalau yang dimaksud faidzaa ‘azamta itu adalah syuro, maka yang dimaksud dengan tawakkal disini itu adalah ‘azam. Kenapa dia disebut ‘azam, Ikhwah sekalian? Karena yang dimaksud tawakkal itu adalah imtilaa-ul qaolbi bil iimaan biqudrotillaahi ‘alaa tashriifil umuur (penuhnya hati dengan kepercayaan bahwa atas kehendak dan kemampuan Allah SWT untuk menjalankan segala urusan itu sesuai dengan kehendak-Nya). Dan itu berarti bahwa kita sepenuhnya bergantung kepada Allah SWT dan tidak takut kepada seluruh makhluk Allah SWT yang lain. Itu yang memberikan kita keberanian. Dan keberanian itulah yang menjadi trigger bagi energi hati yang sudah terbentuk melalui syuro.

Dengan syuro ini kita meyakinkan diri kita sendiri maa dholla shoohibukum wamaa ghowaa, sahabatmu ini tidak tersesat. Sudah benar jalan yang ingin kita tempuh ini. Sudah benar tujuan yang kita tetapkan ini. Sudah benar jalan yang kita tetapkan ini semuanya. Tetapi dengan tawakkal itu kita menghilangkan keragu-raguan. Kita menghilangkan perasaan lemah di dalam diri kita. Kita juga menghilangkan ketakutan. Keragu-raguan, kelemahan dan ketakutan, ini adalah penyakit yang mendera siapapun yang tidak mendapatkan energi dari syuro dan energi dari tawakkal itu.

Dan karena itu, Ikhwah sekalian, buah dari syuro, dari ‘azzam dan tawakkal ini atau buah dari syuro dan ‘azam ini, selanjutnya itu adalah turun ke dalam diri kita dalam bentuk sakinah qolbiyah. Jadi kita bisa meraba kemenangan itu dari dalam diri kita sendiri. Tidak perlu tunggu tahun 2014 untuk mengetahui apakah kita akan menang atau tidak. Antum kembali ke dalam diri antum semua sekarang ini, dan coba raba-raba hati kita semuanya. Apakah ada sakinah qolbiyah di dalam diri kita itu? Semacam kemantapan hati, sakinah qolbiyah ini. Bahwa kita pasti akan menang. Pasti! Saya mau tanya antum dulu, Antum merasakan tidak, ada kemantapan hati itu di dalam? Bahwa tahun 2014 ini memang tahunnya PKS. Ada gak kemantapan hati seperti itu?

Nanti setelah rakornas ini, Ikhwah sekalian, antum kembali ke rumah dan buka lagi Alquran. Cari kata sakinah di dalam quran. Antum akan ketemu kata sakinah ini terulang sebanyak enam kali. Satu kali di surat Albaqarah, dua di surat Attaubah, tiga di surat Alfath. Semua kata sakinah ini diletakkan oleh Allah SWT dalam konteks peperangan. Semuanya. Dan itulah yang menandai semua kemenangan itu. Bahwa kemenangan itu dimulai disana. Secara berurut-urut, kira-kira Allah SWT mengatakan dalam 6 ayat ini, bahwasanya kemenangan itu tanda-tandanya adalah sakinah qalbiyah, baru turun atta’yuudul ilaahi, baru turun alfathu wannashr, baru turun attamkiin. Itu semuanya. Tapi awal dari semua itu adalah sakinah qalbiyah. Sakinah qalbiyah itu artinya zawaalu syak (hilangnya keragu-raguan). Dan kebalikannya alyaqiin bil hiqqah. Yang kedua, zawaalul khouf. Yang ketiga, zawaalul ‘ajz. Zawaalul khouf itu artinya hilangnya ketakutan, dan berarti al i’timaadu ‘alallah. Dan zawaalul ‘ajz, hilangnya perasaan lemah di dalam diri kita, itu artinya ats-tsiqotu bin nafs (percaya pada kemampuan diri sendiri untuk merealisasikan cita-cita yang ingin kita raih).

Saya ingin mencoba membacakan kepada Antum ayat-ayat ini. Ayat pertama tentang sakinah itu ada dalam surat Al-Baqarah dalam kisah Thalut:
itu:

(Al-Baqarah: 248)

Yang kedua di surat At-Taubah, saya ingin mulai dari yang ayat 40. Satu kali di ayat 26, satu kali di ayat 40. Yang di ayat 40 ini yang terkait dengan Rasullullah secara pribadi:

(At-Taubah: 40)

Coba perhatikan, ini suasananya suasana apa? Ini suasana orang kepepet. Berdua, ya kan? Kalau suasana Antum ini kan bukan suasana kepepet. Pemilu masih jauh. Iya kan? Dan tidak sedang dikejar musuh. Iya kan? Ini suasana kita suasana mantap. Tapi disini Allah SWT mengatakan, dalam situasi seperti itu, ketika Rasulullah mengatakan kepada Abu Bakr,



Lalu apa yang dikatakan Allah SWT setelah itu?

(Lalu Allah SWT menurunkan ketenangan-Nya)
Tapi yang aneh di dalam ayat ini adalah: annallaaha yansibus sakiinata ilaa nafsihii (bahwasanya Allah SWT menisbatkan sakinah itu kepada dirinya sendiri). Dia yang menurunkan sakinah itu. Setelah
Baru Allah setelah itu menurunkan tentara-tentara yang tidak kalian lihat. Tapi yang mulai diturunkan itu adalah sakinah.
Sekarang kita lihat lagi di dalam ayat 26, ini kisah tentang perang Hunain:

(Al-Taubah: 25)
Pada perang Hunain itu kaum muslimin kocar kacir pasukannya. Mendapatkan serangan mendadak dan

tidak tahu harus berbuat apa. Kalian pergi, terbirit-birit semuanya pergi
Setelah itu Allah menurunkan sakinah-Nya kepada Rasul-Nya.


Baru setelah itu Allah menurunkan tentara-tentara yang tidak kalian lihat. Dalam surat Al-Fath, Allah SWT mengatakan:
(Al-Fath: 4)
Dan selanjutnya Allah SWT mengatakan, juga di surat Al-Fath ini: (Al-Fath: 18)

(Lalu Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, berupa keyakinan itu)

(Maka Allah SWT menurunkan sakinah kepada mereka itu)
َ(Lalu Allah SWT memberikan balasan bًagi mereka berupa kemenangan yg dekat)

(Dan harta-harta rampasan yang begitu banyak, yang mereka ambil)
Jadi ghanimah itu datang setelah sakinah. Kursi-kursi di DPR itu nanti di kabinet semuanya datangnya setelah sakinah, fii quluubil mujaahidiin. Masalahnya sakinah itu ada tidak di dalam hati kita sekarang ini?
Antum perhatikan lagi, dan ini sekaligus penutup di dalam surat Al-Fath:

Coba perhatikan, sakinah tuh. Yang sana sumber perlawanannya adalah hamiyyatul jahiliyyah. Di sini sumber kekuatannya adalah sakinah qalbiyah (kemantapan hati).

Dalam sirah yang ditulis oleh Ust. Al Buthi, beliau mengatakan, ayat ini turun dua tahun sebelum fathul makkah. Dan ini sudah memberitakan bahwa kalian pasti akan membebaskan makkah itu. Tapi kaum muslimin tidak terlalu menangkap pesan itu di dalam ayat sesudahnya:
(Al-Fath: 27)
Ayat ini turun dua tahun sebelumnya, tapi berita bahwa akan terjadi fathul makkah itu sudah turun. Dan dua tahun sebelumnya, yang diturunkan pertama kali adalah sakinah qalbiyah. Pembebasannya kemudian belakangan. Lalu surat Al fath ini secara keseluruhan ditutup oleh Allah SWT dengan ayat:
(Alfath: 28)

Jadi, Ikhwah sekalian, sekali lagi kita tidak perlu menunggu tahun 2014 untuk mengetahui apakah kita akan menang atau tidak. Kemenangan itu harus kita putuskan sekarang ini. Dan kita memutuskannya itu bukan di atas kertas perencanaan yang kita tulis. Tetapi di dalam hati kita sendiri. Ada kemantapan hati tidak untuk menang? Saya mau tanya sekali lagi, apakah Antum semua merasakan kemantapan hati itu? Urusan strategi dan semuanya itu urusan teknis. Semua kemenangan-kemenangan besar dalam sejarah manusia diputuskan di dalam hati kita pertama kali. Dan ini yang disebut dalam bahasa Sayid Qutb, Al intishoru fil ‘alamid dhomiri awwalan tsumma fil ‘alamil waqi’i tsaniyan (kemenangan di alam batin terlebih dahulu sebelum kemenangan di alam kenyataan).
Tetapi, Ikhwah sekalian, kita ini semua punya satu persoalan. PKS ini seperti para pendaki gunung. Kita sudah sampai pada suatu ketinggian, kalau kita menengok ke puncak yang ingin kita capai, itu rasanya masih jauh, tapi kalau kita menengok ke bawah, itu lebih jauh lagi. Kalau kita turun, tambah capeknya. Mungkin lebih capek dibanding kalau kita naik. Kalau kita naik, beban kita bertambah, sumber oksigen kita berkurang. Kira-kira apa yang membuat nanti kita sampai ke atas itu?

Dari begitu banyak jaulah yang saya lakukan, dan banyak diskusi-diskusi dengan semua ikhwah, juga komentar-komentar orang luar tentang kita ini, saya merasa bahwa persoalan kita ini, dalam kaitan dengan sakinah qolbiyah ini, adalah belum hilangnya sepenuhnya unsur keragu-raguan itu. Dan keragu-raguan itu bukan keraguan atas kemampuan kita. Juga bukan keraguan atas pertolongan Allah SWT. Tapi ini lebih merupakan semacam kegagapan narasi. Apa iya kalau nanti kita memimpin, kalau kita berkuasa, kita bisa mewujudkan ide-ide besar kita itu dan mendeliverynya kepada masyarakat? Apa iya Islam yang kita bawa ini bisa mengantarkan kita memimpin republik ini? Ini pertanyaan yang sebenarnya sudah selesai di materi tamhidiyah satu dulu, waktu kita membaca buku tentang Khoshoishut tashowwuril islamiy, sudah selesai masalah ini. Tapi itu dulu alam teori. Waktu kita mulai bertarung di lapangan, kita ini mengalami apa yang disebut oleh Allah SWT:
(Al-Isra:74)َِ
(Kamu hampir-hampir condْ ong kepaْ da mereka sedikit saja)

Orang-orang memberondong kita dengan banyak pertanyaan, bahwasanya PKS ini tidak mungkin besar sepanjang dia membawa ide bahwa Islam adalah solusi. Bahwa PKS ini tidak bisa menjadi besar, karena dia mempunyai akar sebagai gerakan sosial dan bermetamorfosis menjadi partai politik, dan karena itu susah baginya untuk mengembangkan partai politik dengan sikap partai politik yang murni. Karena begitu dia mengembangkan sifatnya sebagai partai politik yang murni, kemungkinan besar dia akan ditinggalkan oleh basis sosialnya yang islami. Seperti ketika PKS mendeclare ide tentang partai terbuka, dia akan ditinggalkan oleh basis massanya yang islami.
Ini sama saja dengan kita menarik kembali perdebatan tentang agama dan negara, dakwah dan politik, jamaa’ah dan hizb. Tapi keraguan itu tidak sepenuhnya hilang. Apalagi mungkin ada yang bertanya, apa iya kita bisa melawan sistem kapitalisme sekarang ini? Apa iya kita bisa membuat suatu sistem sendiri? Nah, Ikhwah sekalian, semua keragu-raguan ini sebenarnya adalah penyakit yang diidentifikasi oleh para mujaddidin, para pembaharu di awal abad yang lalu. Itu yang diidentifikasi oleh mereka itu
َََّ َ
(Kalau bukan Kami yang membuat teguh hatimu)
semuanya. Ketika gerakan pemisahan akherat dan dunia ini, agama dan negara dipisah, politik dan dakwah dipisah, dalam kehidupan masyarakat muslim pada waktu itu, muncullah pribadi-pribadi yang terbelah. Pribadi-pribadi yang terbelah ini yang kemudian tidak bisa menyatukan, apa iya kita bisa menjadi muslim yang modern dan sekaligus muslim yang sholeh? Itu debat abad yang lalu. Dan debat itulah yang diselesaikan oleh Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna, ketika beliau mengatakan, Al- Islamu Diinun wa Daulah. Apa yang kita anggap sebagai barang-barang yang terpisah ini, Islamlah yang membuatnya menjadi satu. Bahwa agama dan negara itu adalah satu kesatuan. Ada dalam satu industri yang sama, namanya Shinaa’atul Hayah (Menciptakan Kehidupan). Pemisahan-pemisahan itu yang ingin disatukan. Dan inti dari semua dakwah Ikhwan pada waktu itu adalah ini semuanya, menyatukan hal-hal yang terpisah itu tadi.
Jangan ada lagi di antara kita nanti yang mengatakan setelah semua pengalaman politik… seperti apa yang dikatakan Muhammad Abduh, “Inni tubtu minas siyasah” (saya taubat dari politik), seakan-akan itu dosa besar, yang sebenarnya membuat kita taubat semata-mata karena kita memang mengalami kegagapan narasi. Kita tidak tahu bagaimana mempertemukan hal-hal yang telah dipertemukan oleh Islam itu, akhirnya kita juga ikut memisah-misahkannya. Sama persis seperti ketika kita tidak tahu bagaimana menyatukan antara hizb dan jama’ah dan seterusnya, antara dakwah, tarbiyah dan seterusnya sebagai satu paket yang menyatu. Seakan-akan kadang-kadang kita ingin mengatakan pada satu waktu, “ini ada gejala too much politic.” Nanti pada waktu yang lain, “mari kita kembali kepada tarbiyah.” Memangnya kita sudah keluar?

Ikhwah sekalian, saya berseloroh kepada seorang ikhwah, yang paling enak itu apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab, “pekerjaan yang paling saya sukai adalah jihad fi sabilillah,” kata Umar. Kalau ada perang, semua pekerjaan kita tinggalkan. Itu adalah amal yang paling afdhol di antara semua amal-amal yang tersedia pada waktu itu. Kita ke situ. Kalau tidak ada perang, apa yang paling disukai kata Umar? Attijaroh, kasburrizq, dagang. Itu yang paling bagus. Amal yang paling afdhol kalau tidak ada perang, kita dagang. Kalau kita dapat faedah, kita nafkahi diri kita sendiri, kita nafkahi keluarga, kita nafkahi tetangga-tetangga kita, sahabat-sahabat kita, kerabat-kerabat kita semuanya. Kalau ada lebihnya, kita infaq dan zakat dan seterusnya, sedekah untuk yang lain-lain. Masih banyak lebihnya lagi, tidak ada salahnya kalau kita mau menikmatinya untuk yang lain.. Begitu ada jihad, itu semua kita tinggalkan lagi, kita lari lagi pergi perang. Dan saya kira Antum semua di zaman tarbiyah dulu pasti menghafal nama sahabat yang meninggalkan istrinya pada saat dia sedang menidurinya, semata-mata karena ada nashirul jihad, “aljihadu, aljihadu ya nas!”Dia tinggalkan istrinya, padahal sedang digauli istrinya itu. Dia pergi dan syahid, sebelum junub. Artinya apa? Pekerjaan ini bukan pekerjaan yang terpisah. Semuanya satu kesatuan. Ada jihad, ini yang paling afdhol, kita ke sana. Ada begini, kita ke sini.

Jadi, Ikhwah sekalian, saya ingin mengatakan bahwa, inilah saatnya kita keluar dari era pemisahan- pemisahan itu, jadaliyatuddin wassiyasah waddaulah, wassiyasah wadda’wah. Itu semua kita tinggalkan ini semua. Karena ini adalah industri yang menyatu. Politik dan agama itu menyatu dalam satu industri yang namanya Shina’atul Hayah, bagaimana menciptakan kehidupan yang lebih baik. Sekarang coba Antum lihat Allah SWTْ mengatakan, ْ ٓ (AlAnfal:24)
Penuhilah panggilan Allah dan Rasul-Nya, kalau dia memanggilmu untuk hal-hal yang menghidupkan kamu. Yuhyiikum, itu dia. Itulah industri agama yang sesungguhnya, yaitu menciptakan kehidupan yang lebih baik. Apa beda itu dengan politik? Beda dengan politik? Industri itu?
Itu juga yang ingin dilakukan oleh para politisi. Sekarang Antum lihat semua tema kampanye politisi.
Satu kalimatnya sama semuanya: Better Life for Indonesia, Better Life for Jakarta. Semua tema kampanyenya sama, Jakarta yang Lebih Baik, Indonesia yang Lebih Baik. Orang pakai kata-kata yang berbeda saja, tapi intinya semuanya sama. Mereka semuanya ingin menciptakan kehidupan yang lebih baik. Dan karena itu politik dalam hal ini sama persis dengan agama, itu adalah industri kehidupan. Dan salah seorang syuyukh da’wah kita itu menulis buku tentang ini, dan persis diberikan judul sama dengan itu. Itulah industrinya dakwah. Nama bukunya pun seperti itu : Shina’atul Hayah (Menciptakan Kehidupan). Itu jugalah proses industri politik itu. Bahkan, Ikhwah sekalian, ketika Alquran menjelaskan tentang hukum qishash itu. Hukum qishash itu yang kita anggap sebagai sebuah
pembunuhan atas pembunuhan, itu dijelaskan oleh Allah SWT:
Jadi tidak ada perbedaan antara kedua industri ini.
(AlBaqarah:179)
Nah sekarang coba kita lihat lagi, Ikhwah sekalian. Begitu Nabi Isa a.s. ingin memberitakan tentang kehadiran Nabi Muhammad SAW, perhatikan kalimatnya:
ْْْْٓ(Ash-Shaff: 6)
(Dan memberi berita gembira tentang datangnya Nabi sesudahku, yang namanya adalah Ahmad). Dia datang dan memberi berita gembira itu.
Nah, Ikhwah sekalian, sekarang bagaimana caranya orang memahami bahwa industri agama itu adalah bagaimana menciptakan kehidupan yang lebih baik, kalau orang tidak menangkap situasi itu dari diri kita sendiri, iya kan? Saya mengatakan bahwa sakinah qolbiyah itu adalah awal dari sebuah kemenangan, kenapa Ikhwah sekalian? Karena kalau ada kemantapan hati di dalam hati Antum semuanya, kemantapan itu pasti naik ke mata Antum semuanya. Iya kan? Dan kalau di mata Antum ada kemantapan hati, sekarang Antum tinggal menanya orang-orang di sekeliling Antum, apa yang dirasakan orang-orang di sekeliling Antum tentang Antum? Keluar gak kemantapan itu? Kalau ada kemantapan hati, itu naik ke mata, dan sampai sorot mata ke matanya, dari matanya turun juga ke hatinya menjadi kemantapan hati juga. Iya kan? Jadi yang namanya emosi, optimisme, itu sesuatu yang menular.
Dan, Ikhwah sekalian, kalau kita ingin tahu, yang dimaksud dengan industri kehidupan itu adalah: bukanlah angka-angka. Bukan angka-angka. Ekonomi itu juga bukan tentang angka-angka. Bukan. Tetapi tentang sesuatu yang kita rasakan. Kalau Antum baca sekarang angka-angka makro ini, prestasi pemerintah ini tidak terlalu jelek. Tapi kenapa seluruh masyarakat indonesia marah sama pemerintah sekarang ini? Kenapa mereka marah? Kenapa ada pabrik mood yang rusak sekarang ini? Pabrik mood masyarakat sekarang ini, auranya itu aura negatif semuanya, aura marah. Iya kan? Apa saja yang kita lakukan, marah. Semua kita perdebatkan tanpa judul. Hari ini orang debat lagi tentang rok mini, saking tidak ada lagi judul. Tidak ada lagi yang bisa dimarahi, apa saja kita marahi sekarang ini. Karena aura kita aura negatif yang berkembang di masyarakat. Dan politik itu, Ikhwah sekalian, tentang itu. Menciptakan suasana-suasana itu.
Sekarang Antum perhatikan, Ikhwah sekalian. Kalau kita bicara angka-angka, saya ingin bertanya kepada Antum semuanya, Rasulullah mengatakan: “Khoirul quruuni qorni.” Iya kan? Saya mau tanya tuh, menteri keuangan zaman nabi itu siapa? Ada menteri keuangan zaman Nabi? Itu negara punya menteri keuangan tidak? Ada? Bendaharanya ada gak? PKS aja punya. Tidak ada. Antum cari
catatannya. Tidak ada. Dia disebut negara karena dia punya otoritas negara. Salah satu otoritas negara itu adalah memutuskan perang dan damai, membuat perjanjian dengan pihak lain, itu otoritas negara. Dia punya otoritas itu, tapi dia tidak punya seluruh kelengkapan semua negara modern, tidak ada itu kalau Antum baca dengan perspektif sekarang. Bahkan kalau Antum baca lagi jumlah muzakki dan mustahiknya, lebih banyak mustahiknya. Makanya tidak ada bendahara negara, semuanya habis terbagi. Bahkan proyek negara dibiayai oleh individu, karena negara tidak mampu membiayai proyek- proyeknya sendiri. Misalnya proyek perang tabuk, itu dibiayai oleh beberapa sahabat, bukan negara, negara tidak mampu membiayai peperangan itu.
Kalau kita bicara dalam tataran ekonomi, mungkin zaman Umar bin Abdul Aziz lebih afdhol dari zaman Nabi. Karena zaman Umar bin Abdul Aziz itu zero mustahik. Iya kan? Zero Mustahik. Gak ada mustahik zakat waktu itu. Mana ada di dunia sekarang ini tidak ada orang miskinnya? Ada di dunia sekarang? Gak ada. Itu hanya pernah ada satu kali dalam sejarah, di zaman Umar bin Abdul Aziz. Tapi zaman Nabi ada mustahik, jumlah orang penerima zakat banyak. Tapi kenapa disebut sebagai khoirul qurun? Ikhwah sekalian, disebut khoirul qurun, karena seluruh kebaikan yang datang di zaman Umar bin Abdul Aziz berawal dari abad itu. Iya kan? Itu adalah hasil akumulasi. Merekalah yang memulai. Dan waktu mereka memulai, mereka memulai kehidupan. Jadi yang ada pada zaman Nabi itu adalah “pergulatan kehidupan.” Itu yang ada. Orang-orang susah, tapi semua orang punya pikiran positif, punya semangat berjuang. Suasana emosi itu yang ada, yang melingkupi mereka. Dan itulah seharusnya yang merupakan industri negara dan industri agama. Itulah seharusnya
Makanya, Ikhwah sekalian, ayat-ayat tamkin di dalam Islam itu seluruhnya dihubungkan dengan persoalan emosi ini. Yaitu hilangnya apa yang disebut dengan al ‘awathifu ssalbiyah (emosi-emosi negatif) yaitu alhuznu wal khouf. Sekarang saya ingin membacakan kepada Antum beberapa ayat. Coba perbandingkan metafor quran tentang ini semuanya Ikwah sekalian. Allah SWT membuat perbandingan begini:
(An-Nahl: 97)
Kebalikannya Antum perhatikan Allah SWT mengatakan:
ْْْْ(Al-Hajj: 31)

Siapa yang musyrik kepada Allah seakan-akan dia:

(atau dibawa pergi oleh angin)
ِ
(ke tempat yang jauh).
Perhatikan metafor itu. Metafor tentang ketidakpastian:ْ ْ
ْ
ْ(terlempar dari langit),(maka dia disambarْ olْeh burung)


Apa yang memenuhi dunia sekarang ini, Ikhwah sekalian? Ada kepastian? Gak ada. Itu yang membuat orang marah. Akumulasi dari situasi itu semuanya. Orang-orang eropa, dulu saya berpikir demo-demo sambil bakar-bakar ban itu cuma ada di jakarta dulu zaman kita reformasi itu. Sekarang kita saksikan hampir di semua negara eropa juga ada. Dulu saya pikir cuma anak-anak KAMMI yang berani menduduki parlemennya di sini. Sekarang Wall Street juga sudah diduduki. Bedanya apa? Itu tidak ada hubungannya dengan tingkat kebudayaan, tingkat pendidikan. Tidak ada. Begitu negara tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, itu gejala yang lahir. Apakah mereka miskin sekarang? Tidak. Kaya mereka. Cuma mereka tidak siap berkurang kekayaannya. Itu saja. Mereka tidak akan jatuh miskin. Tidak, cuma mereka tidak siap turun di bawah taraf yang sudah ada. Makanya Sayid Qutb waktu menulis bukunya: Ma’rokatul Islami ma’a Ra’si Maaliyah (Perang Islam Melawan Kapitalisme) itu dimulai dengan pembukْaan ayat: ْ ْ ْ ْ ً ْ ْ
Kami hancurkan sehancur-hancurnya.

(Al Isra: 16)

Jadi, Ikhwah sekalian, itu semua alam perasaan. Dan sekarang, dalam teori-teori hubungan internasional, ide ini mulai dimunculkan. Kita tidak lagi membahas hubungan internasional sekarang ini dalam perspektif institusi, tetapi dalam perspektif emosi. Bangsa-bangsa itu, Ikhwah sekalian, bisa dilihat apakah trennya akan tumbuh atau tidak, bukan pada pencapaian hari ini, tetapi emosi, perasaan- perasaan yang memenuhi emosi masyarakat itu, apakah positif atau negatif. Makanya begitu kita masuk ke dalam Islam, yang hilang pertama kali adalah emosi negatif ini.

ْْْ(Fussilat: 30)
Emosi-emosi negatif ini, takut dan alhuzn, kesedihan atau kekecewaan ini, Ikhwah sekalian, itu adalah virus yang mematikan orang, yang membuatnya menjadi tidak berdaya, dan karena itu tidak mampu mencapai apa-apa. Kita boleh miskin dan kita boleh susah, tetapi yang jauh lebih penting dari itu adalah perspektif tentang kemiskinan dan kesulitan ini. Iya kan? Sekarang mungkin Antum berpikir, bagaimana caranya kita menang dalam pilkada DKI kalau kita tidak bisa maju sendiri, karena tidak punya uang? Atau bagaimana caranya kita menang dalam pemilu tahun 2014 kalau kita tidak punya sumber daya? Apakah masalah kita masalah sumber daya? Iya? Apa benar masalah kita masalah sumber daya? Iya? Saya yakin tidak. Waktu kita membuat partai dulu, kita juga tidak punya sumber dayapun. Iya kan? Tapi sumber daya itu adalah anak yang lahir dari pikiran. Bukan sumber daya yang melahirkan pikiran. Begitu kita punya tekad, begitu kita punya mau, sumber daya itu menyusul dengan sendirinya.

Oleh karena itu, alam emosi ini, Ikhwah sekalian, itu jauh lebih menentukan. Dan sekarang, yang tidak dirasakan orang di luar sana, adalah aura tentang sakinah qolbiyah yang keluar dari kader-kader PKS. Itu dia. Begitu aura ini keluar dari dalam diri kita semuanya, dan dirasakan oleh orang, orang menangkap getaran itu semuanya, mereka tunduk. Karena aura itu punya determinasi, dia memaksa orang untuk tunduk. Tetapi orang tidak akan tunduk, begitu dia tidak merasakannya. Dan itu apa yang dimaksud oleh Rasulullah SAW sebagai salah satu mu’jizatnya, wa nusirtu birru’bi mashiirota sya’bin. Kalau ada keyakinan di sini, berarti ada keraguan di sana. Kalau ada keraguan di sini, berarti ada keyakinan di sana. Itu jarang ketemu dua-duanya sekaligus. Iya kan? Jadi kalau Antum ingin menafsirkan semua survey yang ada sekarang ini, inilah tafsir yang sesungguhnya: “Orang-orang tidak menangkap aura itu tadi di dalam diri Antum.” Jangan salahkan tukang surveynya. Apalagi menganggapnya bukan bagian dari rukun iman. Jangan. Tidak perlu untuk menyalahkan tukang survey dan menganggapnya ini bukan bagian dari rukun iman. Tidak perlu semuanya itu. Kita hanya perlu

menanyakan, apakah orang di sebelah sana merasakan ada getaran itu? Begitu orang merasakan itu, pesan itu sampai ke sana. Dan begitu pesan itu sampai di sana, orang-orang akan berpikir, daripada kita bersaing dengan PKS, mendingan kita berkawan.

Soal berani dan takut itu, itu adalah ciptaan Allah SWT, bukan bakat yang kita bawa lahir. Bukan. Itu rezki dari Allah SWT, diberikan kepada kita pada waktu-waktunya. Allah yang mengirimkan ketakutan ke sana, mengirimkan keberanian ke sini. Dan keberanian ini yang merubah perspektif itu, yang banyak di sana kelihatan jadi sedikit. Bukan karena jumlahnya berkurang. Karena cara kita melihatnya. Iya kan? Begitu antum berpikir bahwa orang lain punya sumber daya yang hebat-hebat, yang banyak, kita tidak punya sumber daya. Oh gak begitu. Pikiran itu saja sudah cukup untuk melumpuhkan kita sendiri. Cukup. Nah itu yang ditegur oleh Allah SWT dalam perang Hunain,

(At-Taubah: 25)
Kita percaya pada uang. Tapi yang jauh lebih penting dari uang, adalah ide tentang uang itu sendiri. Bukan sekedar ide tentang bagaimana mendapatkannya, tapi juga bagaimana menggunakannya.

Dalam sejarah Islam, Ikhwah sekalian, kaum muslimin selalu me
nang waktu mereka sedikit. Dan siapa yang meruntuhkan Khilafah Islamiyah di Baghdad itu? Siapa? Itu pasukan primitif dari Tartar. Orang- orang Mongol yang tidak berpendidikan itu. Saya baca sejarahnya Jengis Khan. Dan saya tidak bisa mengerti bagaimana ceritanya orang ini bisa menghancurkan dan meruntuhkan Khilafah Islami yang sudah berdiri ratusan tahun sebelumnya. 40 tahun dari hidupnya, dia hidup sebagai buron. Waktu dia kecil, begitu lahir, ayahnya sudah dibunuh oleh musuhnya. Dan kabilah Mongol itu adalah terpecah ke dalam beberapa klan, dan mereka saling perang. Dia dikejar, dikejar, dikejar, tapi memang umurnya panjang. Terus menerus bersembunyi, keliling, keliling, keliling. Tidak ditemukan oleh musuh- musuhnya. Sampai akhirnya dia kembali, mulai membangun kekuatan kecil-kecil dan mulai melawan klan-klan yang lain. Menang sedikit-sedikit, dan dia berpikir bahwa klan-klan ini jangan berperang terus, kita satukan mereka. Daripada kita saling perang, mendingan kita perangi yang lain. Dia satukan energi mereka dan mulai memerangi yang lain. Dan apa yang oleh dilakukan Jengis Khan dalam peperangan itu? Kalau dia masuk ke suatu tempat, yang dia lakukan adalah dia bukan hanya membunuh orang, tapi menghancurkan seluruh harta benda yang ada di tempat itu. Dia tidak mau ambil, dia tidak mau harta rampasan. Semua harta dibakar, dibakar, dibakar. Semua dibumihanguskan. Tujuannya apa? Mengirimkan pesan kepada daerah-daerah lain yang akan didatangi. Dan karena itu para ahli sejarah mengatakan, bahwa muncul suatu mitos di kalangan kaum Muslimin di Syiria, di Damaskus, tentang orang-orang Tartar ini, sampai-sampai mereka mengatakan, “idzaa jaa-akumut tatar fatrukuh” (kalau orang-orang tartar datang, tinggalkan, jangan coba-coba melawan). Mereka sudah kalah, jauh sebelum mereka bertempur. Faham?

Nah, Ikhwah sekalian, kita bisa mengirimkan pesan kemenangan itu dari hari ini. Bahwa kita punya tekad, bahwa kita punya sakinah qolbiyah, ada kemantapan hati di dalam diri kita, dan kita yakin bahwa kita pasti bisa meraihnya. Dan, Ikhwah sekalian, kalau Antum lihat sekarang ini, yang namanya kemenangan itu seperti cuaca. Dan cuaca itu, menurut para saintist, ini barang cuma bisa diramalkan, tidak bisa dipastikan. Iya kan? Apakah kalau ada mendung, pasti ada hujan? Kalau ada mendung di langit jakarta, apakah setelah lewat beberapa puluh kilo dari langit jakarta, ada mendung juga? Dan cuaca ini barang yang dikirim-kirimkan oleh Allah SWT. Dikirim ke sini jadi gelap, dikirim ke sini jadi terang. Itu cuaca dipergilirkan. Dan cuaca ini yang sekarang kita lihat. Iya kan? Makanya orang-orang menafsirkan revolusi di Timur Tengah itu dengan istilah Arab Spring, ‘Arobiyyul Arbi’. Cuaca lagi bagus. Iya kan? Siapa yang pernah menyangka bahwa Ben Ali bisa turun oleh demonstrasi dalam

waktu dua minggu? Siapa yang pernah menyangka bahwa Husni Mubarak bisa jatuh dalam tiga minggu? Tidak ada yang pernah menyangka itu semuanya. Siapa yang pernah menyangka bahwa Qadafi akan mati dengan cara seperti itu? Gak ada yang pernah menyangka seperti itu. Dan tiba-tiba saja bermunculan partai-partai baru di semua tempat tirani itu dengan nama yang relatif sama semuanya. Ini namanya Khilafatul ‘Adalah. Iya kan?

Dan jauh sebelum revolusi itu datang, terlebih dahulu sudah ada apa yang namanya krisis ekonomi di Eropa. Tiba-tiba ada mendung di sana, dan ada matahari di timur. Iya kan? Yang di sana terjadi mendungnya datang tahun 2008, di sini datangnya tahun 2010. Apakah ada yang merencanakan itu? Tidak ada. Kemenangan itu, Ikhwah sekalian, taukidnya, penetapan waktunya itu adalah milik Allah SWT. Tetapi Allah SWT juga mengatakan, innallaaha idzaa qaddara syai’an khalaqa asbabahu, kalau Allah mentakdirkan sesuatu, dia menciptakan juga sebab-sebabnya. Tidak datang seketika, tapi diciptakan juga sebab-sebabnya. Nah, Ikhwah sekalian, apakah Antum semuanya tidak membaca itu semuanya dengan firasat seorang Mu’min, bahwa itu adalah tanda-tanda kiriman dari Allah SWT? Itu bukan kiriman dari Allah SWT? Apa mungkin ada musim semi di Timur Tengah dan ada musim dingin atau bahkan musim gugur di Indonesia? Mungkin itu terjadi? Itu tidak boleh terjadi. Kalau ada musim semi di sana, di sini pun juga harus ada musim semi. Dan, Ikhwah sekalian, musim semi peradaban itu hitungannya bukan tahun, bukan dekade, itu abad-abad hitungannya. Ini memang abad kita, dan ini abadnya mereka turun. Ini adalah sunnatut tadaawul. Ini adalah shifting of civilization, peralihan peradaban. Sudah waktunya mereka turun, dan sudah waktunya kita naik.

Dan, Ikhwah sekalian, saya ingat yang menarik saya dari buku Majmu’atur Rosail itu. Saya membacanya waktu masih semester dua dulu waktu kuliah, dan saya mengkhatam buku itu persis pada malam ujian, dan setelah itu angka saya turun, jeblok. Saya keluar dari lima besar waktu itu, karena saya tidak memikirkan ujian sama sekali, saking menariknya buku itu, karena saya begitu baca tidak stop sampai selesai, padahal itu lagi musim ujian. Dan yang paling menarik saya dari buku itu, adalah paradoks yang ada dalam buku itu. Ada anak muda berumur antara 20 sampai 40 tahun yang menulis buku itu di antara umur itu. Hidup di bawah sebuah negara yang sedang dijajah oleh Inggris. Sangat miskin, sangat terbelakang. Tetapi mendapatkan marotibul ‘amalid da’awi sampai kepada tahapan yang paling tinggi, dan dia menyebutkan yang namanya ustadziyatul ‘alam. Darimana lahirnya itu? Darimana lahirnya itu keyakinan? Itu gelora. Dan waktu itu, hampir orang tidak ada yang percaya bahwa itu suatu waktu akan jadi kenyataan. Begitu arab spring ini terjadi, sekarang semua orang percaya, apa yang kita maksud dengan era ustadziyatul ‘alam itu adalah waktu yang sebentar lagi akan tiba.

Saya tidak menerjemahkannya langsung, nanti setelah tamat baru saya menerjemahkannya bersama Ust. Rofi’ Munawar. Itu yang paling saya kagumi dari buku itu, dari semua penjelasannya. Setelah itu saya membaca buku tentang Mudzakkiratud Da’wah wa Da’iyah. Dan menemukan bagaimana proses psikologis beliau waktu menulis buku itu, dan perasaan-perasaan pribadinya yang menyertainya. Keyakinan seorang anak muda yang berumur 20 sampai 40-41 tahun. Orang-orang menganggapnya itu utopia. Itu utopia pada waktu itu. Tapi tidak ada kata yang lahir dari keyakinan, yang keluar percuma dan sia-sia. Setelah itu muncullah buku-buku yang lainnya. Apa yang menyebabkan Sayid Qutb menulis pada waktu itu? Orang yang hidup di alam penjajahan. Begitu dia pulang dari Amerika, dia bergabung dengan dakwah ini, dan mulai menulis buku Al-Mustaqbalu li Hadza alDin. Amerika yang baru menang perang dunia kedua, bersama sekutunya di Eropa yang baru menang perang dunia kedua. Tiba-tiba diramalkan oleh Sayid Qutb: Al-Mustaqbalu li Hadza Aldin (Masa Depan adalah Milik Agama Ini). Itu paradoks pada waktu itu, tapi itu yang membuat saya secara pribadi pada waktu itu beriman, percaya bahwa orang ini menulis dari sesuatu yang lain. Ini yang disebut dengan sakinah qolbiyah. Apakah terwujud saat itu juga? Tapi dia sudah memulainya.

Dan sekarang, orang-orang berpikir mungkin setelah Eropa jatuh, setelah Amerika jatuh, ada Cina yang akan bangkit, ini adalah abad Asia. Dan kalau kita bicara Asia, artinya kita bicara Cina, bicara India. Indonesia ikut sedikit-sedikit. Iya kan? Saya ke Cina dan mulai juga merasakan, apa benar ya abad itu ada? Saya baca angka-angka, saya baca, kumpulkan beberapa referensi tentang Cina, lihat-lihat, ketemu dengan orang-orang, diskusi. Dan saya mulai merasa bahwa, sebagaimana semua peradaban yang lain, Ikhwah sekalian. Setiap satu peradaban itu, karena umurnya selalu panjang, itu biasanya disangga oleh beberapa etnis, tidak satu. Islam yang umurnya seribu tahun itu, disangga oleh banyak etnis. Oleh karena itu spot light negara Islam itu pindah-pindah. Pada mulanya di Madinah, habis itu pindah ke Baghdad, habis itu ke Irak, habis itu pindah ke Damaskus dalam waktu yang cukup lama, balik lagi ke Irak, habis itu pindah ke sebelah barat ke Maroko, iya kan? Habis itu pindah lagi ke wilayah Asia Tengah, ke wilayah Asia Selatan dan seterusnya. Tidak satu, banyak etnis yang menyangga.

Peradaban Eropa juga muncul seperti itu. Pada mulanya adalah Spanyol dan Portugis. Iya kan? Antum baca sejarah Eropa. Lama-lama pindah ke barat, lebih ke barat lagi. Iya kan? Muncul Austria dan Jerman. Setelah itu muncul Perancis dan Inggris. Setelah perang dunia kedua, ini pindah ke Amerika. Iya kan? Setelah tahun 2008 pindah ke Cina. Mau mancung atau pesek yang membawa ideologi ini, Cina adalah ekstensi dari kapitalisme. Cina dalam sejarahnya tidak pernah membawa risalah peradaban tertentu. Dia bisa bangkit sekarang, tetapi ia adalah ekstensi kapitalisme. Dan dia akan jatuh persis sebagaimana negara-negara kapitalis yang lainnya.

Jadi, Ikhwah sekalian, yang kita hadapi sekarang ini adalah ini. Dan karena itu sekarang, setelah era revolusi ini, orang-orang mulai percaya, bahwa yang kita maksudkan dengan Al-Mustaqbalu li Hadza Aldin itu adalah barang yang dekat sekarang ini. Dan, Ikhwah sekalian, yang kita perlukan adalah tangga. Dan tangga menuju ustadziyatul ‘alam itu namanya negara. Tapi tujuan kita bukan negara itu sendiri, itu hanya tangga. Tangga untuk apa? Tahqiiqu Maqom Alsyahadah ‘ala AlNas. Karena itulah risalah kita, untuk merealisasikan ma’na syahadah (kesaksian) kepada manusia. Dan yang kita maksud syahadah ini adalah seperti yang disebutkan Allah SWT: ًْ(Al-Baqarah: 143)

Apa yang kita maksud? Yang pertama adalah asy-syahadatul bayaniyah. Asy-syahadah bayaniyah adalah kesaksian naratif, bahwa kita sudah menyampaikan risalah ini kepada orang. Karena itu pertanyaan Rasulullah di hajjatul wada adalah: Alaa hal balaght? Dan yang dimaksud dengan asy- syahadatul bayaniyah di sini adalah mengikuti apa yang disebutkan oleh Alquran dengan istilah albalaghul mubin, apa narasi itu sampai secara jelas atau tidak.

Nah, Ikhwah sekalian, yang saya rasakan sekarang ini adalah bahwa kadang-kadang kita mengalami kegagapan naratif untuk mengumpulkan hal-hal yang menyatu itu tadi. Kita sendiri gagal secara naratif menyatukan itu tadi. Padahal itulah sesungguhnya tugas kita itu. Itulah tugas kita yang sesungguhnya. Penyatuan naratif itu. Karena itulah tipikal Islam yang kita bawa, yaitu annazhrotusy syumuliyah, perspektif yang holistik terhadap segala sesuatu. Misalnya kita lihat sekarang ini soal BBM, saya berpikir kalau orang bertanya, kenapa BBM harus naik? Dalam perspektif APBN memang harus naik, tapi kalau mengelola negara itu sekedar APBN saja, alangkah bodohnya kita ini? Tahu kenapa kita bodoh? Ada 240 juta penduduk Indonesia tiba-tiba ikut terguncang karena ada koboi-koboi Amerika sedang saling gertak di selat Turmuz. Israel mengancam akan menyerang Iran, Amerika juga ancam Iran, Iran bilang kita tidak akan tunduk. Baru mereka saling gertak, harga minyak naik. 240 juta di sini yang tidak ada urusannya dengan perang itu ikut merasakan. Apa iya sesederhana itu cara kita berpikir dalam mengelola negara? Orang di sana yang bekelahi, kita di sini yang bayar?

Jadi yang kita perlukan adalah kemampuan naratif, asy-syahadah albayaniyah. Yang kedua adalah asy- syahadatul adaa’iyah (kesaksian performance). Dan menurut saya, Ikhwah sekalian, era abad yang lalu, era Al Banna, era Sayid Qutb, era mereka ini semuanya, menurut saya, itu adalah era ideologi. Era kita ini adalah era negara, era performance. Mereka dulu menjelaskan Islam secara naratif. Sekarang kita musti menjelaskan Islam secara performance. Itulah tugas kita sekarang ini. Dan karena itu, Ikhwah sekalian, target kita untuk sampai ke 3 besar, 2 besar, 1 besar dan seterusnya memimpin republik ini, itu adalah tangga untuk mentahqiq maqomusy syahadah yang kita inginkan itu.

Saya ingin tanya Antum semuanya, apakah maqomusy syahadah itu bukan satu maqom yang Antum mimpi-mimpikan semuanya? Saya membaca buku Majmu’atur Rosail itu sebagai anak kampung dulu. Datang dari kampung, datang ke Jakarta, dan membaca buku itu, lalu kemudian mencoba mendramatisasinya di dalam diri saya sendiri, membayangkan kita ini anak kampung tiba-tiba datang membawa risalah ini dan menjadi ustadziyatul ‘alam. Apa itu bukan suatu kehormatan? Ini bukan urusannya kursi DPR!

Ikhwah di Kuwait, (saya berkunjung ke Kuwait beberapa waktu lalu sebelum mereka pemilu), saya ditanya, Antum kan kenal Kuwait dengan baik (saya diundang di akademi politiknya). Antum kan kenal Kuwait dengan baik, jadi apa saran Antum tentang Kuwait ini? Ana bilang, kalau Antum berpikir cuma kursi parlemen, terlalu kecil ide Antum ini. Kenapa, dia bilang. Dulu Antum dapat 2, naik 4, naik 6, turun 4, turun 2, turun 1, naik lagi 2, naik 3, terus, begitu aja Antum kerjanya. Yang Antum perebutkan cuma 50 kursi di parlemen Kuwait. Paling maksimal Antum capai 6. Iya kan? Jadi cuma itu cita-cita Antum? Cuma itu saja? Terlalu kecil.

Saya bilang kita ini di Indonesia, jelek-jelek kita di Indonesia, begitu lahir, kita punya satu hak yang Antum tidak punya. Apa itu? Kita punya hak jadi Presiden Republik Indonesia. Antum tidak punya hak jadi Raja Kuwait. Iya kan? Antum dilarang sejak lahir bermimpi untuk jadi Raja di Kuwait. Apa itu bukan satu kezhaliman yang luar biasa bagi Antum semuanya? Dia bilang, wallahi Antum ini bicara bahaya buat kita ini.. Sekarang Antum menganggapnya bahaya. Kalau Antum cuma sekedar kursi parlemen ini, terlalu kecil. Mimpi Antum itu, hak Antum sebagai manusia merdeka, yang diberikan Allah pada Antum, dicabut oleh raja. Antum tidak boleh mimpi jadi raja. Iya kan? Antum semua di Teluk ini, dikasih minyak oleh Allah SWT, dikasih kekayaan luar biasa semuanya, tapi dicabut hak Antum untuk bermimpi. Luar biasa. Dan Antum ridho dengan kehidupan seperti itu. Itu masalahnya. Dia bilang, wallahi bahaya Antum, bahaya buat kita di sini. Saya bilang, saya harus menyampaikan apa yang ada di dalam diri saya. Dan menurut saya, ini dalam pembicaraan dengan banyak qiyadah di Indonesia, semua pendapat mereka juga begitu. Itulah persoalan Antum di Kuwait, dan di semua negara Teluk, dan dulu di semua negara arab. Plafon amal Antum terlalu pendek, cepat disundul, iya kan? gampang diraih, cuma parlemen.

Saya bilang tahun 2005, kita juga dulu datang ke ikhwah di Mesir. Bicara tentang mereka. Kita bilang, ini sih obatnya cuma satu buat Antum. Apa? Revolusi. People power, turun ke jalan. Dan kita sudah coba di Indonesia. Kita tidak sendiri, bersama orang lain, tetapi setidak-tidaknya kita punya pengalaman. Dan berhasil. Kenapa Antum tidak coba di sini? Mereka waktu itu bilang, oh Anda tidak tahu siapa itu Mubarak, Mubarak itu beda dengan Suharto. Beda. Saya tidak membantah mereka pada waktu itu, cuma saya berpikir-pikir, kira-kira berapa juta orang yang sudah dibunuh oleh Mubarak. Saya kira gak sampai segitu. Penjara orang banyak. Ya bunuh ada lah, tapi tidak sekejam yang mereka bayangkan itu . Ini persepsi. Tapi kita bilang, seluruh alasan untuk meledakkan revolusi itu sudah ada. Kenapa Antum tidak memulainya? Mereka bilang gak bisa. Kita ini laa nu’minu bits-tauroh walaa binataa’ijihaa (kita tidak percaya pada revolusi dan semua hasil-hasil revolusi). Waktu itu tahun 2005

mereka mengatakan begitu. Waktu itu saya malah tanya, umurnya Mubarak berapa? Mereka bilang, 78. Saya bilang, manusia di umur seperti itu.. Antum kadernya berapa? (Dua juta setengah). Kalau dua juta setengah orang, tiap hari dua minggu saja turun di Kairo sini, Mubarak nonton dari tivi, insya Allah dia semaput sendiri. (Ah itu tidak mungkin, tidak mungkin terjadi).

Tapi begitu mereka turun, umur Mubarak cuma tiga minggu.
Lebih dari satu minggu dari yang kita sampaikan pada waktu itu. Dan ternyata mereka mulai percaya, bahwa revolusi kadang-kadang ada gunanya juga. Tetapi, Ikhwah sekalian, itu masalah keimanan. Itu masalah kemantapan hati. Waktu itu mereka tidak mantap. Akhirnya kemantapan itu harus dipicu oleh korban yang namanya Bouazizi di Tunis. Ini orang hamba Allah satu ini kasihan, ini baru menikah, insinyur, tidak punya rencana revolusi apa-apa gitu. Cuma begitu tidak berdayanya, dia bakar dirinya sendiri. Begitu tidak berdayanya. Dan itulah semua yang memicu, dan tiba-tiba suasana berubah. Tiba-tiba suasana berubah. Tetapi waktu itu mereka punya persepsi, bahwa itu tidak mungkin terjadi.

Oleh karena itu, Ikhwah sekalian, kemenangan-kemenangan besar yang kita raih itu, sekali lagi, itu bermula pada mulanya dari keyakinan yang ada di dalam diri kita. Dan sekarang jangan bertanya, kalau kita sudah yakin, terus strategi elektoralnya seperti apa? Strategi itu urusan teknis. Itu masalah yang sederhana. Begitu Antum punya keyakinan, keyakinan ini sendiri bekerja di dalam diri kita, dan itu akan membuka sel-sel otak kita sendiri untuk menemukan ide-ide itu dengan sendirinya. Dengan sendirinya akan kita temukan. Apakah kita punya bayangan tahun ’98 bahwa kita akan berkumpul di Jakarta dalam jumlah sebanyak ini? Gak ada juga dalam bayangan kita waktu itu. Yang kita punya waktu itu, adalah keyakinan bahwa kita bisa. Iya kan? Keyakinan bahwa kita bisa. Dan setelah kita lalui, ternyata memang kita bisa. Apakah kemampuan kita jelek? Tidak. Tapi kalau Allah menginginkan kita menang, kadang-kadang Dia tidak membuat kita sangat kuat. Yang pertama kali dilakukan oleh Allah adalah membuat orang lain sangat lemah. Iya kan?
Apa Antum tidak membaca tanda-tanda itu juga? Apa itu bukan kiriman dari Allah SWT? Jadi kalau tanda-tandanya dalam skala global sudah ada, dalam skala lokal di depan mata Antum sendiri sudah ada, masih ada alasan untuk tidak memiliki kemantapan hati? Masih ada alasan untuk tidak memiliki kemantapan hati? Sekarang saya mau kembali bertanya, sekarang hati Antum lebih mantap atau tidak?

Kalau sudah mantap, saya ingin mengatakan kepada Antum semuanya:
ْْْ (Ar-Ruum: 60)

Bersabar. Terus kita bekerja. Janji Allah itu pasti benar.

Janganlah orang-orang yang tidak percaya itu meremehkan kamu.
Biarlah mereka menangkap aura itu. Keyakinan, kemantapan hati kita, di dalam mata kita, di dalam sorot mata kita, dalam ucapan-ucapan kita, yang penuh dengan kepercayaan diri seperti itu dan penuh tawakkal kepada Allah SWT, supaya emosi ini menyebar. Dan jika emosi ini menyebar, orang-orang akan merasakan begini: Bersama PKS Kita Punya Harapan, Bersama PKS Ada Kepastian, Bersama PKS Ada Hidup yang Lebih Baik. Begitu pesan itu sampai kepada mereka semuanya, Antum tidak perlu menunggu quick count. Kita sudah bisa memastikannya bahwa insya Allah kita akan menjadi pemenang pada Pemilu 2014.

Alahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!